Cerita ini hanya fiktif belaka. Apabila terdapat kesamaan nama, tokoh, karakter, dan tempat, itu hanya sebuah kebetulan saja ^_^
***********************************
Aku duduk memandangi sebuah foto yang terbingkai rapi di
atas meja tulisku. Bingkai kotak dengan motif hati dan bintang yang
menghiasinya membuatku teringat seorang teman, sahabat, bahkan sudah bagaikan
seorang kakak bagiku.
Rameyza Elya Putri, dialah yang selama ini mewarnai
hari-hariku. Sejak kecil, aku dan Rameyza sudah bersahabat. Pahit manis
kehidupan ini sudah pernah kami rasakan bersama. Sifatku dengan Rameyza sangat
berbeda. Aku yang penuh keegoisan, keras kepala, dan tak pernah mau mengalah membuat
Ramayza bisa membalikkan semua itu. Dia yang usianya satu tahun lebih tua
dariku dapat menepis semua sifat burukkudengan kelembutannya.
Air mataku menetes mengingat semua kisah indah itu. Kisah
yang kini hanyalah tinggal kenangan. Kisah yang ternodai oleh keegoisanku dan
kisah yang akan selalu hidup di dalam hatiku.
Masih segar diingatanku kejadian sebulan lalu. Suatu
peristiwa yang membuatku dihantui rasa bersalah. Suatu peristiwa yang membuatku
kehilangan seorang sahabat yang sangat aku sayangi.
Pagi itu, aku ke rumah Rameyza. Ku lihat sebuah sepeda motor
yang terparkir di halaman rumahnya. Sepeda motor yang sudah tak asing lagi
bagiku. Yah, sepeda motor milik Defa, cowok yang sudah setahun lebih mengisi
relung hatiku. Muncul berbagai pertanyaan dalam benakku. Mengapa Defa ke rumah
Rameyza? Apa yang di lakukannya? Kenapa dia tak mengajakku? Dan bla, bla, bla.
Begitu banyak pertanyaan muncul dalam pikiranku.
Aku melangkahkan kakiku menuju pintu rumah Rameyza. Namun,
sebelum aku sempat membuka pintu dan masuk ke dalam, terdengar suara Rameyza
yang tengah mengobrol dengan seorang cowok. Aku rasa itu Defa. Aku menguping
pembicaraan mereka. Mungkin ini perbuatan yang salah, tapi aku juga tak ingin
merusak suasana di dalam.
“Sungguh Za, aku sayang sama sama kamu,” ucapan itu
membuatku kaget. Bagaikan pisau yang tiba-tiba menusuk jantungku. Sakit dan
sesak. Apa aku tak salah dengar? Apa betul yang di ucapkan Defa barusan? Aku
kembali mendengarkan percakapan mereka.

“Nggak mungkin Def! Kamu kan pacarnya Angel, dan Anggel itu
sahabat aki,” tegas Rameyza.
“Aku tak peduli! Yang aku tahu, saat bertemu denganmu, ada
rasa yang tak dapat ku mengerti. Perasaan yang tak pernah ku rasakan saat
bersama Angel. Perasaan yang membuatku selalu ingin bertemu denganmu. Perasaan nyaman
apabila didekatmu,” jelas Defa.
Aku mersa semakin sakit. Berarti selama ini aku bersama Defa
hanyalah sebuah kebohongan. Aku tak menyangka Defa tega melakukan ini kepadaku.
Apa salahku ? Apa kurangku ? Aku menyayanginya, aku selalu berusaha untuk mengerti
akan dirinya, tapi kenapa ? Kenapa kau lakukan ini kepadaku?
Aku kembali mendengarkan percakapan mereka. “Aku juga
merasakan hal yang sama Def, tapi aku berusaha memendam perasaanku dan
menguburnya dalam-dalam,” ungkap Rameyza. Bagaikan petir di siang bolong
menyambarku. Aku terdiam terpaku mendengar pernyataan Rameyza.
“lantas apalagi yang harus kita pertimbangkan? Akan lebih
baik jika kita jadian,”ucap Defa.
“Tidak Def. Aku menghargai Angel, aku menyayangi dia, dan
aku nggak mau Angel tersakiti,” jawab Rameyza. “Aku juga mencintaimu Def,”
sambungnya.
Air mataku menetes. Aku tak percaya semua ini. Ternyata
sahabat dan kekasihku mengkhianatiku. Aku semakin sakit mendengar percakapan
mereka. Aku tak dapat lagi menahannya. Aku menangis.
“Angel tidak akan tahu hubungan kita. Izinkanlah aku menjadi
kekasihmu dan tetap berpura-pura menjadi kekasih Angel, hingga ada waktu yang
tepat untu mengatak semua ini keapanya,” ucapan Defa itu semakin membuat
perasaanku hancur.
Tanpa sengaja vas bunga yang berada disampingku terjatuh dan
pecah. Hal itu tentu membuat Rameyza dan Defa kaget, namun aku tak peduli.
Walaupun aku tahu mereka akan menghampiri asal suara itu.
Aku menangis menahan sakit hatiku. Tak apa jika Defa
mengkhianatiku. Tapi mengapa mesti Rameyza sahabatku? Kenapa? Tak adakan gadis
lain?
“Angel?” tegur Rameyza yang terlihat shock.
Aku menoleh kea rah mereka. Ku lihat tangan Defa mengenggam
tangan Rameyza. Aku semakin sakit. Air mataku semakin mengalir melihat
pengkhianatan ini.
Tiba-tiba Rameyza meleaskan genggaman tangan Defa. Mungkin
dia sadar kalau aku melihatnya. Diapun menghampiriku, “Angel, sejak kapan kamu
di sini?” Tanya Rameyza dengan wajah yang pucat dan nada suara ketakutan.
Namun, aku hanya menangis tak bicara. “Angel saying, kamu kenapa?” Rameyza
kembali bertanya, tapi aku tetap tak peduli dan tetap saja menangis. Terlihat
Rameyza member isyarat kepada Defa dan tiba-tiba Defa menghampiriku.
“Bebh, kamu kenapa?” tanyanya sok romantic. Aku menatap Defa
dengan sinis. Terlihat dia merasa gugup dan pucat. Ku tarik kalung yang sejak
setahun lalu ku gunakan.
“PENGKHIANAT !!!” teriakku dan melmparkan kalung itu kea rah
Defa. Mereka terlihat begitu shock. “Loe semua pengkhianat.” Ucapku membabi
buta. “Jangan piker gue nggak tau semuanya? Gue tahu dan gue denger semuanya.
Salah apa gue sma loe berdua? Kenapa loe tega banget ngelakuin ini sama gue?
Aku semakin menjadi-jadi.
“Angel, ini nggak seperti yang kamu bayangin,” Rameyza
mencoba menenangkanku. “Aku bisa menjelaskan semuanya,” ucapnya lagi.
“Nggak ada lagi yang perlu dijelaskan. Gue udah tau semuanya
Za. Maaf telah menjadi penghalang hubungan loe,” ucapku dan langsung
meninggalkan mereka berdua.
“Angeeeellllll!!!!” teriak Rameyza yang terlihat ingin
mengejarku namun di cegah oleh Defa.
“Sudahlah Za! Biarin aja dia. Setidaknya dia udah tau dan
aku nggak perlu bersusah payah untuk menjelaskan semua ini padanya,” jelas
Defa.
Plaakkk !! Sebuah tamparan mendarat di pipi Defa. “Za ?
Apa-apaan ini ?” tanyanya heran sambil memegang pipinya yang merah akibat
tamparan Rameyza.
“Itu untuk sahabatku. Aku nggak mau jadi pacar kamu. Aku tak
mau kehilangan sahabat aku,” jelasnya meninggalkan Defa dan mengejarku.
***
Aku masih saja berlari dan menangis. Terdengar suara Rameyza
yang memanggilku. “Anggeeeelll !!” Tolong dengerin dulu penjelasan aku,”
teriaknya. Aku terus berlari, menangis, tak memperdulikan Rameyza. “Anghel ,
aku memang mencintai Defa, tapi aku lebih menyayangimu. Aku tak ingin
kehilangan sahabatku hanya karena hal seperti ini,” teriaknya mencoba
menjelaskan semuanya. Mendengar penjelasan
Rameyza, langkahku terhenti. “Angel, ini hanya segelintir masalah dalam
persahabatan kita. Kita pasti bisa melaluinya bersama!” kata-kata Rameyza
membuat perasaanku luluh. Yah, begitulah Rameyza, penuh dengan kata-kata yang
menyejukan.
Aku termenung diseberang jalan yang sepi ini. Merenungi
kata-kata Rameyza. Yah, dia benar. Ini adalah segelintir ujian di dalam
persahabatan kami.
“Angel, aku tak menanggapi Defa dengan serius. Aku nggak mau
pacaran, jika harus ada yang tersakiti,” sambungnya kembali. Air mataku semakin
menetes. Perlahan aku melangkah menghampiri Rameyza yang berada di seberang
jalan. Melangkah dan merenungi kata-kata yang diucapkan tadi…
“Aaannnngggggeeeeellllllll….. Aawwwaaaaasssss !” tiba-tiba
Rameyza berlari ke arahku dan mendorong tubuh dengan keras. Aku tersentak
kaget, tak menyadari apa yang terjadi. Dorongan Rameyza yang begitu kuat
membuatku terpental jauh kebelakang dan terjatuh. Itu membuatku sakit dan terluka,. Tapi , ketika aku mencoba
bangkit ada sesuatu yang begitu menyakitkanku, hingga aku seakan tak dapat
bergerak. “Rameyzaaaaaaaaaa!” aku
berteriak histeris saat ku lihat tubuh sahabatku tergeletak berlumuran darah di
tengah jalan. Perlahan aku menghampirinya dank u rangkul tubuh yang lemah itu. “Za,
bangun za!” pintaku yang panic. “Tooolllllooooooong!!” teriakku mencari
pertolongan. Namun, jalan ini sungguh sepi. Kendaraan yang menabrak Rameyza pun
telah melarikan diri. “za.. bangun!” suaraku mulai bergetar ketakutan dan air
mataku tak hentinya mengaliir. Tiba-tiba tangannya bergerak, perlahan dia
membuka matanya.
“Angel,” ucapnya tersenyum. “Ma..maafin a..a..ku,” katanya
terbata-bata.
“Nggak ada yang perlu di maafin Za, aku yang salah kok,”
ucapku berderai air mata.
“Ja..jan..gan me..mena..ngis! Aku nggak ma..mau ka..mu
me..nangis. Aa..ku ma..mauu ka..mu ter..senyum u..un..tukku,” aku mengangguk
dan tersenyum, meskipun air mataku masih tetap saja berderai. “Ka..kamu
ha..ha..rus ku..at men..ja..jalani se..muanya. A..aku ya..yakin ka..ka..mu
bi..bisa ta..tanpa a..aku,” dia semakin terbata-bata.
“Za.. kamu harus kuat, kamu harus bertahan,” ucapku terisak-isak.
“Te..terrima ka..ka..sih Angel.” Ku lihat Rameyza yang sudah
lemah tak berdaya. Dia tersenyum menatapku. Perlahan matanya tertutup diiringi
detak jantung yang semakin melemah dan… Innalillahi wa innailaihi rajiun.
“Rameyzaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!” teriakku histeris. Emosiku tak
bisa lagi ku kendalikan ketika harus menyaksikan sahabatku menghadap ke Sang
Khalik. Aku menangis sejadi-jadinya
menangisi kepergian sahabatku tercinta.
***
Peristiwa itu masih jelas diingatanku. Tak pernah terduga
kalau senyum itu senyuman terakhir sahabatku dan tak pernah terduga kalau itu
adalah hari terakhir aku melihat Rameyza. Kini aku kehilangan sahabatku.
Aku memandangi bingkai foto itu dengan berderai air mata. Foto
terakhirku bersama Rameyza. Foto dengan senyum manisnya. Aku merindukan senyum
itu, aku merindukan kata-kata penyejuk dari bibirnya yang selalu meredam
emosiku. Aku merindukan sosok seorang kakak, aku merindukan Rameyza sahabatku.
Rameyza, tenanglah di alam sana. Aku yakin, kita akan
bertemu kembali. Ya rabb, jadikanlah dia sahabat_Mu, seperti hamba
menjadikannya sahabat. Tempatkanlah dia di sisi-Mu. Jagalah sahabatku Ya Allah,
lindungi dia, terangkanlah tempatnya di sisi-Mu.. Aamiin.. Aamiin.. Ya Rabbal
Alaamiin…