Kesedihan Arinda
Cerita ini hanya fiktif belaka, apabila terdapat kesamaan nama, tokoh, tempat, dan peristiwa. Bukan hal itu yang dimaksudkan. Itu adalah unsur ketidaktahuan dan ketidaksengajaan penulis :D So, enjoy and check it dot :)
*****
“Berharga mana apa yang aku kasih
ke kamu dengan semua barang-barang, teman-teman, dan kesibukan kamu itu?
Arrgghh, semestinya aku tidak bertanya seperti itu. Aku tahu semua yang aku
berikan kepadamu tak pernah kamu anggap dan sama sekali tak berarti apa-apa
bagimu.” Arinda kembali meneteskan air mata. Dia tidak menyangka hubungan yang
dirajutnya bersama Fahri kekasihnya akan berakhir seperti ini.
Rinda kembali memejamkan matanya
yang berlinang air mata itu. Sebuah memori kembali terlintas dalam kenangan
pikirannya. Memori yang membuat hatinya teriris, ketika Fahri lebih memilih
temannya daripada dirinya dan kini teman yang dibanggakannya itu
mengkhianatinya. Bagaimana mungkin Rinda tidak merasa sakit dengan kejadian
itu? Kejadian yang tak bisa dilupakannya. Pilihan Fahri yang selalu membuatnya kecewa.
Air mata Arinda menetes membasahi
bantalnya. Dibalik matanya yang terpejam, air mata itu terus mengalir.
Kesakitan yang dirasakannya tak dapat dilupakan. “Aku sudah memberikan semua
kepadamu, kasih sayangku, perasaanku yang tulus. Tapi, kenapa kamu memperlakukan aku seperti ini?” dia bergumam dalam
tangisnya.
Kejadian yang tak jauh berbeda,
ketika Rinda memberi pilihan kepada Fahri. Memilih antara dirinya dan kegiatan
organisasinya. Fahri kembali mencampakannya. Begitu sakit hati Rinda mengingat
semua hal itu. Ini bukan yang pertama
ataupun kedua kalinya. Sudah sering Fahri membuatnya kecewa. Kebersamaan indah
yang pernah dirajutnya bersama Fahri tak bisa lagi menghapuskan rasa kecewanya.
Kata-kata mesra yang dilontarkan oleh Fahri yang dapat membuatnya tersenyum,
kini tak berguna lagi. “Aku akan mencoba menjadi imam yang terbaik untukmu.” Sebuah
janji yang dilontarkan Fahri saat pertama mereka jadian. Dia menaruh harapan
besar dan kepercayaan kepada Fahri. Tapi, semua harapan itu sirna. Hal itu
hanya sekedar janji belaka. Janji palsu yang terlontar dari mulut manis Fahri.
“Aku tak memiliki apa-apa
dan dengan gampangnya kamu mencampakan aku.” Ucapnya sambil terisak. Hidup
Rinda seakan dibuat berantakan oleh orang yang semestinya mendekap dirinya
dengan penuh kasih sayang. Rasa sayang Arinda terhadap Fahri hanya bertepuk
sebelah tangan. Fahri hanya mempermainkannya. Dia hanya kesenangan sesaat bagi
Fahri. Hatinya semakin sakit menghadapi kenyataan pahit ini. “Jangan nangis
lagi! Lupain dia, Rin.” Saran Anggi sahabat Arinda. Saran itu tiba-tiba
terlintas dalam benaknya.
Arinda sudah muak dengan sikap
Fahri terhadapnya. Keputusan untuk berpisahpun telah diambilnya. Komitmennya
bersama Fahri kini hanya tinggal kenangan saja. Rinda menyeka air matanya yang
sedari tadi mengalir bak aliran air sungai. Dia beranjak dari pembaringannya. “Life
must go on Rinda. Jangan tangisi dia yang tak pernah peduli kepadamu.” Dia mencoba
menguatkan dirinya kembali. Dia menghela napas panjang dan sebuah senyum
terlukis dibibirnya lagi. “Ini hanya masalah waktu,” gumamnya.