Senin, 27 Agustus 2012

Always.. All about you :*

Sayang...
Bersamamu aku merasakan bahagia..
Segalanya tercurah untukmu..
Aku tak akan pernah berpikir akan ada gundah di hatiku..
But I believe you , and I believe you never leave me :)
Namun, ada ketakutan ketika aku harus kehilanganmu...
Kehilangan kasih sayangmu dan semua tentangmu...
Sayang...
Air mata ini ingin menetes ketika harus ku dengar rintihan kesakitanmu...
Di saat itu , aku sangat ingin berada di sampingmu, menjagamu, dan mendekap hangat dirimu...
Suatu saat nanti, rintihan kesakitan itu tak akan lagi ada..
Aku berjanji akan menjadi obat untukmu..
Membuatmu bahagia seperti kebahagian yang kamu berikan kepadaku ...
Sayang...
Hari ini, esok, dan seterusnya, apapun tentangmu adalah bagian dari diriku dan kehidupanku...
Impianku, tetap bersamamu.. Merajut tali kasih kita !

Sabtu, 25 Agustus 2012

Aku Bersyukur Memilikimu ♥

Entah dengan kata apa aku melukiskan perasaan ini? Tapi sungguh, aku sangat bersyukur bisa memilikimu :)
Aku tak tahu , apa yang aku rasa sama dengan yang kamu rasakan? #i hope it# Kamu bukanlah yang pertama, but i hope u will be the last for me (ˇʃƪˇ)
Seandainya kita saling mengenal lebih awal, apa mungkin semuanya akan seperti ini?

Entah apa yang memantapkan keputusanku untuk berkata "iya" kepadamu? Ketika semua komitmen22 itu terlontar , begitu mudahnya keputusan itu ku gapai.. Aku berharap inilah yang Allah ingin tunjukkan kepadaku ! #aamiin#

Aku sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari kehidupanmu :)
Kamu orang pertama yang membuat bibirku berucap kata "SAYANG".. Jujur saja, kata itu amat susah terucap sebelumnya..

Mungkinkah kamu pemilik tulang rusuk ini ?
Mungkinkah kamu adalah imamku ?

Ramadhan tahun ini memiliki arti tersendiri...
Ketika Allah merajut ke akraban kita..
Tuhan, terima kasih untuk dia yang kini ada di kehidupanku..
Terima kasih atas berkah Ramadhan ini :)

Aku bukan anak kecil lagi yang harus terus bermain.. Ada kalanya aku akan bersikap dewasa dan serius.. Mungkinkah itu yang ku rasa saat ini ?

Sahabat, kakak, kekasih, dan teman.. Semoga semua itu bisa ku dapat darimu...
Terima kasih, telah menjadi bagian dari kehidupanku...
Kelak akan ada sebuah tiang yang berdiri kokoh dan menyangga sebuah atap untuk menanungi kita !

sebait doa yang terlontar di penghujung shalatku :

"Ya Allah, izinkan aku menggelar sajadah bersamanya.. Berdiri di belakangnya , menjadi makmumnya dan ku berharap dalam tangis doa kepada-Mu agar suatu saat nanti dia benar22 menjadi imamku, dunia dan akhirat"
Aamiin...

Tuhan, sekali lagi.. Terima kasih telah Engkau berikan dia :*

Simple !

Cintai aku dengan kesederhanaanmu...
Karna aku tak mampu membalas cinta yang berlebihan..
Aku hanya punya cinta yang mungkin tak sebesar yang kau harapkan...
Karna kebesaran dan keabadian cintaku hanya milik Robbku semata,
dan Cintai aku dengan ketulusan kasihmu...
Karna hanya dengan ketulusan dapat memaafkan..
Dengan ketulusan kan didapat kesabaran..
Karna dengan ketulusan dan kesabaran,
Mampu membentangkan kasih seluas lautan yang tiada punya tepian..

Rabu, 15 Agustus 2012

Senyuman Reza


Cerita ini hanya fiktif belaka. Apabila terdapat kesamaan nama, tokoh, karakter, dan tempat itu bukanlah kesengajaan ^_^

*******************************

Ku pandangi tubuh yang terbaring lemah di hadapanku. Wajah pucat dan alat-alat medis disekitar tempatnya berbaring. Reza, seorang cowok yang kini berjuang untuk hidupnya melawan penyakit yang menggerogotinya.

Terbaring lemah di rumah sakit membuat orang-orang disekitarnya merasa iba dan prihatin, serta membuat orang-orang disekitarnya merasa kesepian dan kehilangan. Keceriaan yang selalu terpancarkan diwajahnya tak ku sangka ternyata itu adalah selimut untuk menyembunyikan derita batinnya. Bagiku, Reza bukan hanya sekedar sahabat terbaik, tapi dia lebih dari segalanya. Jika melihat kedekatanku dengan Reza, orang-orang mungkin akan beranggapan bahwa kami ini berpacaran, tapi itu salah! Kedekatan dan kebersamaan kami melebihi segalanya. Kami adalah sepasang sahabat yang akan selalu melengkapi. Namun, kini sahabatku terbaring lemah tak berdaya. Tak ada yang bisa ku lakukan selain berdoa untukmu sobat.

“Vhy, sebaiknya kamu pulang dulu nak!” kata tante Fanny, ibunda Reza. “Kamu pasti capek dari sekolah langsung kesini,” sambungnya.

“Nggak kok tante. Lagian aku masih mau di sini,” jawabku sambil tersenyum.

“Vhy, ingat! Kamu juga harus jaga kesehatan. Reza pasti sedih kalo kamu sakit,” ujarnya lagi. Beliau memang begitu perhatian. Dia juga sudah begitu mengenalku. “nanti mama kamu khawatir loh,” ucapnya lagi.

“Aku udah izin sama mama kok tante. Nanti juga mama bakalan ke sini,” jelasku.

“Syukurlah,” ujarnya tersenyum.

Ku pandangi wajah wanita 40 tahun itu, begitu kusam. Pesona kecantikannya mulai memudar. Kantong mata yang membengkak menandakan bahwa wanita ini tak hentinya menangis. Senyuman manis dari bibirnya tak pernah ku lihat lagi selama 3  hari ini. Senyuman yang diturunkannya kepada putra bungsunya itu. Yah, senyuman Reza. Senyuman yang telah membohongi seluruh dunia, senyuman yang selalu dibagikannya walau dalam perih sekalipun, dan senyuman itu pula yang selalu meluluhkan hatiku.

Seingatku, selama aku mengenal Reza 10 tahun yang lalu, aku tak pernah melihatnya mengeluh, meringis kesakitan pun tak ku temukan dari raut wajahnya. Yang ada hanya keceriaan dari senyumanya yang begitu indah dan memikat.

Menurut teman-teman di sekolahku, senyuman Reza itu adalah senyuman maut. Tiap orang yang melihatnya langsung terpikat. Haha, ada-ada jaj. Tapi yah , menurutku sih juga begitu. Mereka juga sering berkata, kalau aku beruntung banget bisa bersahabat karib dengan Reza. Hemmm… aku mengerti kenapa mereka berkata seperti itu ? itu karena Reza merupakan salah satu cowok yang bisa dibilang perfect dan paling digandrungi sama cewek-cewek sdi luar sana.

Masih segar diingatanku saat salah satu siswi kelas XI IPS 1 mengungkapkan perasaannya kepada Reza. Yah, waktu itu aku sedang menikmati makananku di kantin sekolah bersama teman-teman sekelasku dan tiba-tiba Reza datang dengan nafas terengah-engah. “Napa lo za?” tanyaku heran melihatnya.

“Gila tuh cewek-cewek XI IPS1, masa gue mau dikeroyok?” jawabnya dengan nafas setengah memadai. Hehe

“Haa? Dikeroyok?” tanyaku kaget.

“Iya, dikeroyok.” Tegasnya. “Gue pengen diseret ke kelasnya, padahalkan gue nggak mau,” terangnya dengan wajah yang sok polos.

“Kan lo cowok, kenapa nggak lo lawan?”

“Justru karena gue cowok makanya gue nggak lawan,” ucapnya. “Mau ditaroh dimana muka gue kalo gue ngelawan cewek,” ucapnyadengan ekspresi lucu.

“iya juga yah. Hehehe,” tawaku. “Rese nih adek kelas,” gumamku. “Guys, ke kelas XI IPS1 yuk, cewek-ceweknya reza,” ajakkukepada teman-temanku.

“Yuk!” sahut mereka.

“Ayo ! Lo juga harus ikut!,” pintaku dan menarik dasi Reza.

Kami pun menghampiri kelas cewek itu. “Woi, siapa yang berani keroyok sobat gue?” gertakku saat tiba di kelas tersebut. Terlihat siswi-siswi dikelas itu terdiam dan memandang ke arah salah satu siwi yang dikerumuni beberapa siswi lainnya tengah menangis. “Lo yang nyuruh cewek-cewek di kelas ini ngeroyok Reza?” tanyaku dengan nada suara tinggi.

“Aku nggak nyuruk ngeroyok kak,” jawabnya dengan wajah memelas tapi sok imut.

“terus?” Tanyaku singkat.

“Aku Cuma mau kak Reza ke kelas aku,” jawabnya.

“Masalahnya apa coba,” heranku

“Aku pengen ngungkapin perasaan aku ke Kak Reza, tapi kak Rezanya nggak mau ke kelas. Jadi, aku nyuruh temen-temenku ngebujuk kak Reza biar mau ke kelas aku kak. Itu doing kok,” jelasnya panjang lebar. Oo..oo.. Aku rasa akan ada lagi yang sakit hati karena Reza. Hahaha.

“Ya udah, Rezanya udah ada di sini, silahkan bilang yang pengen lo ungkapin!” pintaku. Gadis itu pun berdiri dari duduknya dan menghampiri Reza. Terlihat gadis itu agak malu-malu untuk mengungkapkannya. Dia memberikan sebuah coklat dan bingkisan yang berbentuk hati. Aku menoleh kea rah sahabatku itu, dia pun memandangiku seraya tersenyum. Hemm, Reza kenapa mesti tersenyum seperti itu ? Kadang senyumannya membuat jantungku berdebar begitu cepat. Entah mengapa seperti itu ?

Aku kembali memandangi gadi itu, Penuh rasa takut, itu yang dapat ku baca dari raut wajahnya. “Kak, sudah lama aku suka sama kakak. Aku harap kakak bisa nerima aku jadi pacar kakak,” ungkapnya seraya merunduk dan menyodorkan coklat dan bingkisan itu kepada Reza.

“kenapa kamu suka sama aku?” pertanyaan yang aneh dari Reza.

“Entahlah kak? Bagi aku kakak itu udah kayak malaikat. Baik, ramah, pokoknya sempurna di mata aku. Selain itu, kakak juga cakep. Dan yang paling utama dan menjadi cirri khas kakak, yaitu senyuman kakak yang telah memikatku,” jelasnya. Aku berpikir, jika alas an gadis inikarena senyum Reza maka, tidak lama lagi gadis ini akan pingsan di hadapan kami semua jika Reza memberikan senyuman itu.

“Tapi maaf…,” baru kata itu yang terlontar dri mulut Reza, gadis itu kembali menangis tersedu-sedu. Reza menlanjutkan kalimatnya, “aku udah punya pacar.” Aku tesenyum mendengarkan pernyataan Reza. Akhirnya dia mempublikasikan hubungannya, setelah setahun lebih dia berpacaran dengan seorang gadis yang tak pernah diketahui oleh seluru penghuni sekolah ini, kecuali aku tentunya.

“Aaa… aaa.. apaa ? Kakak udah punya pacar?” gadis itu terlihat shock. Seisi ruangan pun heboh membicarakan hal itu.

“yah, aku udah punya pacar,” Jelas Reza. Gadis itu semakin meneteskan amatanya dan tiba-tiba dengan sapu tangan yang dipegang Reza, Reza mengusap air mata gadis itu dan tersenyum manis. Alhasil, gadisitupun pingsan dihadapan Reza, seperti dugaanku. Sontak seisi ruangan kaget, begitupun dengan Reza. Dia menoleh ke arahku sambil menaikkan pundaknya dan mengerutkan dahinya seraya tersenyum. Aku hanya menggelengkan kepala melihat Reza.

Yah, satu lagi peristiwa yang dialami Reza yang tak akan aku lupakan. “Vhy?” sebuah suara membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, “mama?” sapaku.

“Ini mama bawaiin makanan buat kamu dan tante Fanny,” kata mama sambil memberikan kantongan yang dibawanya kepadaku.

“Kenapa mesti repot-repot sih mbka?” ujar tante fanny.

“Nggak kok Fan. Udah, kalian berdua makan dulu. Biar aku yang jagain Reza disini!” pinta mama. Mama dan tante Fanny memang sudah kenal sejak dulu, makanya aku bsia akrab dan bersahabat karib dengan Reza. Itu semua karena keluarga kami memang sudah saling mengenal.

Masih teringat saat pertama aku mengenal Reza. Dia pemalu, tapi jahilnya minta ampun. Saat itu, Om Rio dan tante Fanny baru saja menempati rumah barunya. Umurku baru 7 tahun, begitu juga dengan Reza. Mama dan papa aku pun menghadiri acara pindah rumah tersebut. Maklum, mama dan Tante Fanny sudah saling kenal. Dulunya mama tinggal di rumah tante Fanny saat duduk dibangku SMA dan waktu itu tante Fanny masih SMP. Bagi mama, tante Fanny sudah seperti adik kandungnya sendiri. Begitupun aku dan Reza, sudah kayak saudara kandung sendiri.

Reza punya seorang kaka laki-laki. Namanya Rafael, tapi kami memanggilnya kak Rafa. Aku dan Reza banyak berterima kasih kepada kak Rafa. Karena ulahnya waktu itu, aku bisa akrab dengan Reza. Aku juga beretrima kasih kepada Reza, karena senyumannyalah yang menarikku kedalam kehidupannya.

“Vhy, jangan melamun aja. Ayo makanannnya di makan!” tegur tante Fanny.

“Iya tante,” sahutku. Aku mulai menyantap makanan buatan mama dan hal ini kembali mengingatkanku akan kebersamaanku dengan Reza. Yah, setiap main ke rumah dan mendapati mama sedang memasak, dia pasti selalu menggodanya, “hemm… baunya harum banget tante. Pasti rasanya sedap banget.” Kata itulah yang selalu dilontarkannya jika sudah mendekati mamaku di dapur. Dan jika dia sudah menyantapnya, maka akan terucap kata, “Wah, enak banget tante.” Hahaha, kalimat itu selalu membuatku tetawa geli. Itulah Reza, pandai memikat hati siapapun. Aku mencoba menikmati makananku. Namun, air mataku menjadi bumbu santapanku ini. Kapan aku bersama Reza lagi melewati hari-hari ini?

“Kok nangis vhy?” Tanya tante Fanny.

“Cuma ingat Reza tante,” jawabku mencoba tersenyum.

“Pati kamu merasa kesepian, sama kayak tante.”

“iya tante. Oh iya, hari ini Prisil nggak dating tante?” tanyaku.

Prisil adalah gadis yang telah mimakat hati Reza dan telah menemani Reza selama setahun ini. Karena Prisil pula Reza bisa member alas an kepada gadis-gadis yang pernah mengungkapkan perasaannya kepadanya.
“Udah tadi pagi sebelum ke sekolah. Katanya hari ini dia nggak bisa nemenin Reza. Ada pelajaran tambahan, makanya tadi pagi dia mampir. Maklum, kalian inikan udah kelas 3 SMA. Kalian harus lebih focus belajar. Kamu juga Vhy,” terang tante Fanny.

“Hehe, iya tante,” ujarku. Tidak lama lagi kami akan menghadapai unjian sekolah dan ujian nasional. Memang semestinya aku belajar lebih serius lagi, tapi 3 hari ini aku tak pernah konsentrasi belajar. Semuanya karena Reza. Hal ini kembali mengingatkanku akan kejadian 3 hari yang lalu, sebelum akhirnya Reza terbaring lemah di rumah sakit.

Hari itu, ku lihat Reza yang begitu ceria dan penuh semangat sedang bermain basket bersama anak-anak SMA kusuma Bangsa yang lain. Aku duduk disalah satu bangku yang terletak di koridor yang menghadap ke arah lapangan basket dan memandangi Reza yang sedang bermain. Begitu keren sahabatku ini. Aku berpikir jika seandainya aku dan Reza bukanlah sahabat, apa mungkin akan seakrab ini? Apa mungkin aku bisa melalu hari-hari sulitku yang hamper seluruhnya dihiasi oleh senyuman Reza.

“Ehem..  lagi ngelamun aja bu?” aku menoleh kea rah suara itu.

“Vito?” ucapku. Vito adalah cowok yang telah mengisi hatiku selama sebulan ini. Yah, bagiku dia baik, namun agak posesif. Jika dibandingkan dengan Reza, Reza jauh lebih baik. Begitulah aku, selalu membanding-bandingkan Vito degan Reza dan hal itu yang kadang membuat mereka berdua ilfeel. Kata Vito, mereka tak pantas untuk disama-samakan, akrena mereka adalah pribadi yang berbeda. Terkadang Vito cemburu kepada Reza, dan akupun harus berusaha meyakinkannya dan hal itu yang selalu menjadi pertengkaran dianatara kami.

“Reza emang keren yah?” katanya dan duduk di sampingku.

“Hemm..,” gumamku seraya mengangguk.

“Gue rasa Reza suka sama elo,” sebuah pernyataan yang begitu mengejutkanku.

“Apa-apaan sih lo Vit ? Jangan ngaco deh !” kesalku.

“Gue nemuin ini jatuh dari salah satu buku Reza saat di ambil dari lokernya,” katanya sambil menyodorkan sebuah foto. Itu fotoku.

“Asataga Vit, lo cemburu hanya karena sebuah foto? Dan elo berfikir kalo Reza suka am ague ? Ckckckc,” aku menggeleng-gelengkan kepalaku, seakan tak menyangka jika Vito akan cemburu hanya karena hal kecil seperti ini. “Gimana coba kalo lo liat kamarnya Reza, hapenya, atau album-album fotonya. Mungkin lo udah meledak gara-gara cemburu,” sambungku.

“Gue tau itu. Tapi untuk apa Reza nyimpen foto lo dibukunya?” tanyanya.

“kenapa sih lo nggak bisa ngertiin gue ma Reza? Reza sahabat gue, dia juga udah punya cewek,” jelasku ilfeel.

“Justru gue udah ngertiin elo ma sahabat lo itu.”

“Ngertiin? Lo banyakan cemburunya.”

“Wajarlah gue cemburu. Mana ada orang yang mau ceweknya deket ma cowok laen?” suara Vito mulai terdengar keras.

“Kenapa sih lo nggak bisa kayak Prisil? Dia lebih bisa ngerti daripada elo,” aku mulai membandingkannya lagi.

“Inilah gue. Gue apa adanya. Lo nggak perlu ngebanding-bandingin gue ma orang lain.” Suara Vito mulai menjadikan kami pusat perhatian. Aku segera menarik Vito, menghindari sorotan mata para siswa-siswi SMA Kusuma. Ku tarik dia ke dekat tangga, yang lokasi itu memang selalu sepi.

“Gue kecewa ma elo Vit!” ucapku. “Mungkin hubungan kita nggak bisa bertahan lama,” sambungku dengan mata yang berkaca-kaca. Seakan tajk percaya kalau orang yang aku saying nggak pernah bisa mengerti akan keadaanku.

“Maksud lo, kita putus?” Vito mencoba memperjelas. Aku pun mengangguk. “Masa gara-gara hal ini kita mesti putus?”

“Kalo lo mau ngubah sifat jealous lo itu, mungkin hubungan kita masih bisa bertahan,” ucapku yang mulai meneteskan air mata dan meninggalkan Vito menuju kelasku.

“Vhyyyyyy !” teriak Vito, namun aku tak mempedulikannya.

Saat aku tiba di kelas, belum sempat aku duduk di bangkuku, ku dapati seseorang mengotak-atik tasku. Reza? Apa mungkin Reza tau kalau aku berantem dengan Vito ?

“Lo berantem yah ma Vito?” Tanya Reza saat aku duduk di sampingnya. Ku jawab pertanyaan itu dengan isyarat mengangguk. “Gara-gara gue?” tebaknya

“GeeR lo!” candaku.

“Trus, napa lo nangis?” Tanya lagi.

“Cerewet lo,” ucapku

“Dari pada elo, cengeng!”

“Apa ? Cengeng ?” aku tak pernah menerima kalo Reza memanggilku cengeng. Tiba-tiba dia memotretku dendan handphonenya. “Apaan sih lo? Dasar bau!” ledekku.

“Enak aja. Gue wangi tau,” narsisnya.

“Lo bau keringet,” sambungku.

“Biarin aja, yang penting gue dapet foto lo lagi mewek,” ledeknya seraya tersenyum. Senyuman itu membuatku merasa lebih baik.

“Jangan senyum lo ! Jelek tau,” candaku.

“Jelek apa cakep?” godanya.

“Jelek,” kataku. Reza kembali tersenyum. Kini lebih mempesona dari yang tadi.

“Pulang yuk!” ajak Reza. “Udah nggak ada pelajaran nih. Mending belajar di rumah,” sambungnya.

“tumben lo mau belajar?” ledekku lagi.

“Hellooo, guekan emang rajin. Nggak kayak lo tuh yang males,” sahutnya. Jika dibandingkan dengan Reza, dia memang lebih pintar dan lebih rajin dariku. Reza duduk di kelas exact , sedangkan aku di kelas sastra. Aku memang lebih tertarik terhadap sastra, beda dengan Reza yang lebih menyukai sesuatu yang berbau ilmiah.

“Hahaha, iya, iya..” tawaku.

“Makanya, lo harus rajin belajar! Jangan banyakan maen! Nggak lulus tau rasa lo,” ujar Reza.

“Jahat amat lo ngedoaiin gue nggak lulus,” aku nyolot.

“Dasar lo! Siapa juga yg ngedoaiin lo nggak lulus? Siapa coba yang mau lihat orang yang disayangnya nggak sukses?” kata-kata itu membuatku semakin berarti di hidup Reza. “ Ingat Vhy, kita punya prinsip loh, masuk bareng , keluar juga bareng.” Kataya. Yah, kami telah berjanji bersama.

“Iya Za, gue inget kok,” ujarku sambil tersenyum. “Yuk pulang!” aku menarik lengan Reza.

“By the way, nih foto lo yang lagi mewek bagus banget yah di upload. Biar seluruh dunia tau kalo lo tuh cengeng. Hahaha,” ucap Reza dan segera berlari.

“Oh no! Reeezzzzzaaaaaa !” teriakku mengejarnya.

“Gue Cuma pengen bantu lo jadi terkenal Vhy. Hahaha…,” teriaknya.

Di sepanjang koridor sekolah, aku dan Reza menjadi pusat perhatian. Dari kerasnya suara kami dan tingkah laku kami yang kejar-kejaran kayak anak kecil. Hingga Reza berhenti berlari ketika keluar di halaman sekolah. Dia berdiri tegak, diam tak bergerak. Aku segera menghampirinya. Jangan sampai dia benar-benar mempublikasikan foto itu.

“Dasar lo, jahat !” ucapku saat berada di dekatnya. Mendengar ucapanku, Reza hanya tersenyum dan mulai berjalan kembali. Terlihat tangan kanannya yang memegang handphone di letakkan di dada kirinya. Aku tak tau apa artinya itu?

“Reza..?” aku mulai angkat bicara.

“Hemm…” sahutnya.

“Kita udah mulai dewasa, sampai kapan yah kita kayak gini?” tanyaku. “Dan sampai kapan juga senyum lo bakal jadi obat di kehidupan gue?” sambungku dan menoleh ke arah Reza. Ku lihat dia hanya tersenyum menunduk dan sesaat dia pun mengangkat kepalanya dan berkata “Sampai kapan lo mau dan sampai kapan lo inget.”

“Gue pengen selamanya,” sahutku.

“Kalo gitu, lo harus jadiin itu sebagai kenangan,” ujarnya.

“Kenapa?” tanyaku heran.

“Karena nggak ada yang abadi, yang abadi itu hanyalah kenangan,” jawabnya menoleh kepadaku sambil tersenyum. Kata-kata dan senyumannya membuatku luluh. Senyuman itu sungguh indah dan mempesona. Aku tak tahu kata apa yang lebih pantas melukiskan senyumannya. Senyuman it uterus merekah, hingga akhirnya Reza terlihat pucat.

“Za, lo nggak papa?” tanyaku khawatir. Tak ada jawaban darinya selain senyumannya yang merakah. Namun, wajah itu semakin pucat dan akhirnya Reza terjatuh tak sadarkan diri. Hal itu membuatku panic dan seakan kehilang kesadaran. Aku tak tahu apa yang ku lakukan? Semua kembali jelas dalam penglihatanku, saat tiba di rumah sakit dan hari itu akhirnya aku tahu kalau selama ini Reza mengidap kanker paru-paru. Setelah sekian lama aku mengenal Reza, aku baru tahu 3 hari yang lalu tentang kondisi Reza yang sebenarnya.

Sahabat macam apa aku ini ? Tak tau derita sahabatnya. Aku kembali meneteskan air mata setelah mengingat semua kejadian itu. Kini, sudah 3 hari Reza terbaring di sini. Berjuang seorang diri. Reza, maafkan aku! Aku tak pernah ingin tahu apa yang sedang kamu alami. Aku memang bukan sahabat yang baik. Hanya doa yang bisa kuberikan untukmu kini.

Entah apa yang ku lakukan selama ini di sampingmu? Hingga aku tak tahu apa-apa tentang semua ini. Aku begitu terlena dengan senyumannya dan berpikir Reza tidak dalam kesulitan. Sungguh bodoh!

“Fanny, Vhy…! Reza sadar,” teriak mama. Hal itu membuatku sangat senang dan segera berlari ke samping Reza. Begitupun dengan tante Fanny. Dia menggenggam tangan putra itu. “Reza, ini mama nak,” ujarnya.

“Mama?” kata pertama yang terucap dari bibir Reza. “Maafin Reza ma…” kalimat itu seakan menyayat hati. Begitu haru keadaaan saat ini. Dengan suara yang lemah Reza tetap berusaha untuk berbicara. Ku lihat tante Fanny kembali meneteskan air matanya menatap Reza dan membelai rambut putranya itu. “Reza minta maaf yah mah. Selama ini Reza udah ngerepotin mama dan Reza belum bisa bahagiaan mama, papa, dan kak Rafa.” Begitu menyentuh kata-kata itu. Tak kuat rasanya melihat hal ini.

“Nggak kok sayang. Itu emang udah sewajarnyakan. Kamu kan anak mama. Itu udah kewajiban mama untuk menjaga kamu sayang. Kamu nggak salah apa-apa kok.” Tante Fanny mengecup kening Reza. Tiba-tiba mama merangkulku. Mungkin mama sadar kalau aku begitu terharu dan seakan tak kuat melihat peristiwa ini.

“Reza..!” suara om Rio yang baru saja tiba. “Oh sayang, akhirnya kamu siuman,” ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca.

“Papa?” sapa Reza.

“Kamu harus kuat nak,” ucap om Rio menyemangati putranya. Reza kembali tersenyum dan hal itu membuat perasaanku agak lebih baik.

“Maafin Reza yah pa ?” ucapnya.

“Iya nak,” ujar om Rio dan membelai anaknya. Om Rio dan Reza memang sangat dekat. Bagaikan kakak dan adik. Itu semua karena sifat Reza yang friendship. Berbeda dengan Rafael yang dingin dan agak tertutup. Tapi, Reza dan kak Rafel juga sangat dekat. Tak pernah sekalipun aku melihat mereka berantem. Yah, mereka kakak adik yang istimewa.

“Pa, Reza titip mama dan kak Rafa yah!” Kalimat itu membuat jantungku berdegup kencang. Perasaan khawatir mulai menggerogoti batinku. Ya Allah, aku tak ingin kehilangan dia.

“Iya sayang. Papa pasti jagain mereka. Makanya Reza cepet sembuh yah!” ucap Om Rio. Reza hanya membalasnya dengan senyuman. Tiba-tiba Reza menoleh ke arahku dan tersenyum.

“Vhy..” ucap Reza.

“Iya Za?” jawabku yang masih menangis.

“Dasar cengeng!” kata-kata itu membuatku aget. Oh my God Reza! Disaat-saat seperti ini ternyata dia masih menginggat semua peristiwa yang kemarin dan masih bisa bercanda. Semoga ini pertanda baik ya Allah. “Jangan ada air mata lagi Vhy!” sambungnya. Sejenak aku terdiam. Ku genggam tangan Reza dan mengangguk menandakan iya. Melihat isyarat dariku, Reza pun tersenyum. Ku pandangi orang-orang disekelilingku. Mama, Tante Fanny, dan Om Rio, seakan mereka juga merasakan keharuaan ini.

“Heii, gue punya foto-foto lo selama baring di sini. Kalo lo nggak cepet sembuh, gue bakal upload tuh foto,” ancamku yang ingin member semangat kepada Reza. Tak ada kata yang terucap darinya, hanya senyuman yang merekah indah dibibirnya. “Cepet sembuh lo yah, bentar lagi ujian loh. Ingat! Masuk bareng keluar juga bareng,” ucapku lagi. Namun, hanya senyuman itu yang ku lihat. Semakin indah. Ku genggam tangan Reza erat-erat. Ku rasakan denyut nadinya, begitu lemah. Aku mencoba menatap matanya yang tengah menatapku. Ku rasakan kekuatan yang terpancar dari cahaya mata itu. Namun, semakin lama cahaya itu mulai meredup , tapi Reza senyuman Reza tetap merekah. Hal itu yang membuatku tidak khawatir. Ku lihat Reza mulai memejamkan matanya kembali. Mungkin dia lelah dan ingin tidur sejenak. Aku merasakan denyut nadi Reza yang semakin melemah. Oh Tuhan, jangan sampai yang ku takutkan terjadi! Jangan Kau ambil dia! Semakin lama denyut nadi itu semakin lemah, hingga akhirnya denyut nadi itu tak ku rasakan lagi. Innalillahi Wainnailaihi Rajiun. Aku kehilangan dia, sahabatku Reza. Dia telah pergi meninggalkanku untuk selamanya bersama sejuta kenangan.

Tante Fanny langsung memeluk tubuh kaku Reza dengan penuh histeris. Om Rio pun sangat terpukul harus kehilangan putra kesayangannya. Air mataku kini semakin menetes. Rasanya tulang-tulang ini tak sanggup legi menopang tubuhku. Aku jatuh tersungkur di samping tempat tidur Reza.. melihatku terjatuh, mama langsung merangkulku. “Kamu harus kuat sayang!” bisik mama.

“Ma..Reza udah nggk ada ma. Reza udah ninggalin aku,” ucapku meratap.

“Ini mungkin yang terbaik buat Reza. Dia nggak harus lagi menahan sakit. Ikhlasin dia sayang?” mama mencoba menenangkanku.

“Kenapa ma? Kenapa? Kenapa harus secepat ini? Aku butuh Reza ma. Aku nggak mau kehilangan Reza. Aku nggak mau ma,” aku pun semakin histeris.

Sesaat kemudian tim dokter tiba di ruangan ini. Namun semua percuma. Reza nggak bakal balik lagi. Tante Fanny dan Om Rio makin histeris. Aku tak sanggup berada di ruangan ini. Tak sanggup rasanya aku melihat tubuh sahabatku yang pucat dan kaku. Aku mencoba melangkahkan kaki untuk keluar dari ruangan ini. Namun, begitu berat. Tulang-tulang begitu rapuh melangkah, tapi aku tetap berusaha. Aku tak mau dibunuh oleh perasaanku dan perasaan orang-orang yang ada di ruangan ini.

Aku pun keluar dari ruangan itu dan kudapati kak Rafael yang baru saja ingin memasuki ruangan. Tapi langkahnya terhenti melihatku. Sesaat ekspresi wajahnya berubah dan bergegas memasuki ruangan.

“Reeezzzzzzaaaaaaa!!!” teriakan kak melengking hingga terdengar hingga di luar ruangan. Teriakan itu seakan menjadi pedang yang menusuk jantungku. Begitu sakit mendengar hysteria kak Rafael.

Ya Allah, begitu berat cobaan yang kau berikan kepada kami. Aku mencoba kuat, tapi aku tak kuasa mendengar hysteria di dalam kamar Reza. Tubuhku tersa lemas. Aku kembali jatuh tersungkur dan menangis, menangis, dan menangis. Ku luapkan perasanku dengan menangis sejadi-jadinya. Sesaat kemudian kak Rafael keluar dari ruangan tersebut dan berdiri di hadapanku.

“Reza udah nggak ada Vhy. Gue kehilangan adik gue. Adik terbaik di dunia ini,” ucapnya kepadaku.

“Iya kak” ucapku dan kembali berdiri.

“Gue nggak mau kehilangan dia, dia berarti banget Vhy,” ujarnya lagi dan langsung memelukku.

Aku larut dalam pelukan kak Rafael, menangis bersama. Meluapkan segala kesedihan ini.
“Aku juga nggak mau kehilangan Reza kak, tapi mau gimana lagi? Ini udah takdir,” aku mencoba menguatkan kak Rafael.

Tak lama berselang jenazah Reza pun dipulangkan ke rumah. Sesampainya di rumah duka, terdengar suara wanita menangis histeris. Prisil, dia tak kuasa menahan kesedihannya. Ku lihat di tak bisa menahan emosinya hingga jatuh pingsang. Aku dapat merasakan apa yang di rasakan Prisil. Ku rangkul dia dan mencoba menyadarkannya. “ Prisil, kamu harus kuat,” bisikku kepada Prisil. Terlihat dia mulai membuka matanya yang berlinang air mata. Tiba-tiba seseorang memegang bahuku. Aku menoleh. Vito? Dia ada di sini. Aku kembali focus kepada Prisil. Ku bombing dia masuk ke dalam rumah dan di belakangku Vito mengikut. Aku, Prisil, dan Vito duduk di samping jenazah Reza. Ku pandangi sekelilingku. Semuanya berduka. Ku tatap tubuh yang terbaring kaku dihadapanku. Dia seakan tersenyum. Senyuman itu abadi bersama Reza. Tak akan pernah hilang.

Aku tak kuasa menahan tangisku. Aku memeluk tubuh kaku Reza dengan berlinang air mata. Rasanya tak percaya jika saat ini Reza telah tiada.  Tiba-tiba Vito merangkulku, melepaskan pelukanku dari tubuh Reza dan menyadarkanku dalam pelukannya.

“Menangislah! Jika itu bisa meluapkan segala emosimu,” ucap Vito. “Aku tahu ini sulit bagimu, tapi kau harus bisa mengikhlaskan Reza. Kamu harus kuat,” sambungnya. “Reza tetap yang terbaik untukmu. Aku tak berniat untuk menggantikannya, tapi izinkan aku menjadi tempat segala curahan emosimu hari ii, esok, dan selamanya.” Aku semakin menangis tersedu dalam pelukan Vito. Entah apa yang aku pikirkan? Semua terasa hampa.

***
Hari ini, jenazah Reza akan di makamkan. Terkubur di perut bumi membawa semua kenangannya. Ku dekati tubuh dingin yang kaku itu. Aku memandangi wajahnya untuk yang terakhir kalinya. Dia seakan tersenyum, senyum yang tak akan pernah ku lihat lagi. AKu memejamkan mataku, mencoba untuk mengingat senyum terakhir itu seraya meraba wajah dan bibir Reza. Rasanya begitu sesak, ketika yang ada di pikirkan hal yang membuatku semakin tak bisa kehilangan Reza. Aku mencium wajah itu, sebelum akhirnya kain kafan membalut tubuh yang akan sangat amat ku rindukan.

Akhirnya Jenazah Reza siap untuk dikebumikan. DIgiring ke  ketempat peristirahatan terakhirnya. Rasanya aku tak sanggup lakukan ini. Kakiku begitu berat untuk melangkah. Ya Allah, kuatkan aku! Mudahkan langkahku untuk mengantarnya kehadapan-Mu. Dengan hati yang mencoba ikhlas, ku iringi Reza dengan langkahku. Ya Allah, begitu berat rasanya melihat detik-detik kepergian sahabatku untuk selamanya.
Saat jenazah Reza dikuburkan, beberapa kali Tante Fanny terlihat pingsan, sedangkan Om Rio dan kak Rafael terlihat lebih tegar dari kemarin.

Prosesi ini begitu cepat berlalu. Semua terasa hampa. Kini tubuh Reza sudah terbaring didalam tanah. Dalam kegelapan yang akan disinari oleh senyumnya. Aku mencium batu nisan Reza. Kembali, aku seakan tak percaya kehilangan dia. Para pelayat mulai pulang. Namun aku masih di pemakaman itu, memeluk nisan Reza dan memandangi fotonya.

Tiba-tiba seseorang menyodorkan sebuah bingkisan. Aku pun menoleh. Kak Rafael ? “Reza menitipkan ini pagi itu sebelum dia masuk rumah sakit,” katanya sambil memberikan bingkasan itu.

“apa itu kak?” tanyaku penasaran.

“Aku juga nggak tau dek. Reza hanya bilang, jika suatu saat dia tak mampu lagi  bertahan, maka aku harus menyerahkan ini padamu. Aku rasa Reza sudah punya firasat tentang semua ini,” terang kak Rafael.

Aku pun mengambil bingkisan itu. “Terima kasih kak,” ucapku. Ku buka bingkisan tersebut. Sebuah kertas, foto, beberapa barang kesangan Reza, dan sebuah buku. Aku rasa itu buku harian Reza. Dia memang gemar menulis dan menceritakan kisahnya.

Aku mengambil kertas secarik kertas itu dan mulai membacanya.
“Vhy, maafkan aku jika aku menyimpan rahasia ini darimu. Bukannya aku tak menganggapmu, tapi ini semua ku lakukan demi kamu. Vhy.. di buku harian itu aku mengungkapkan semua tentangku. Tak ada lagi yang ku sembunyikan darimu.  Alvhy Zahra Puspita, jangan meneteskan air mata lagi! Apa pun yang terjadi kamu harus kuat! Jika dulu aku selalu menghiburmu dikala sedih, kini mungkin tak bisa lagi, maka kenanglah aku. Jika senyumku membuatmu merasa tenang, maka ingatlah aku selalu. Vhy, mungkin aku udah nggak ada. Namun, aku selalu ada dihatimu. Ingat Vhy! Nggak ada yang abadi, yang abadi itu hanyalah kenangan. I Love You my best friend, I love you Vhy…”

“I love you too Reza!” ucapku setelah membaca surat itu. Aku tak dapat membendung air mataku lagi. Ku pandangi semua foto-foto yang ada dibingkisan itu, foto Reza dan beberapa fotonya bersamaku. Semua foto-foto itu memancarkan senyuman Reza yang begitu indah, senyuman yang tak akan pernah ku dapat lagi.

“Dulu sebelum mengenalmu, Reza adalah anak yang lemah, manja, dan pemurung. Dia nggak pernah mau pisah dari bokap nyokap. Dan kalo penyakitnya kambuh, dia pasti mewek, merengek dan bilang jangan tinggalin Reza. Tapi setelah mengenal kamu, Reza mengalami perubahan yang dratis. Dia udah nggak murung lagi, nggak manja dan selalu ceria. Dan ajaibnya lagi penyakit mulai membaik. Dia jadi anak yang kuat,” Kak Rafael menceritakan hal-hal tentang Reza dan aku mulai membuka tiap helai buku harian Reza. “Tapi setelah beberapa tahun, penyakitnya kembali memburuk dan makin parah,” sambungnya. “Jujur saja Vhy, aku iri sama kamu,” ujar kak rafa.

“Haaa? Iri? Sama aku? Kenapa kak?” tanyaku kaget.

“Kamu bisa membuat adikku tersenyum dan tertawa begitu lepas, menjadi semangat baginya, dan member warna hari-harinya,” Kak Rafael kembali meneteskan air mata. Aku mengusap-usap bahunya, mencoba menenangkannya.

“Kakak tetaplah yang terbaik bagi Reza. Reza bangga punya kakak seperti kak Rafa. Yah, itu selalu di ucapkannya kak,” ucapku seraya tersenyum kepada kak rafa dan dia pun membalasnya dengan senyum.

“Pulang yuk Vhy!” ajak kak Rafa dan aku mengangguk. Kami meninggalkan Reza di tempat peristirahatan terakhirnya. Dalam gelap yang tetap akan bersinar terang.

***
Sebulan telah berlalu sejak kepergian Reza. Kini hari-hariku ku jalani sperti biasanya, meski terasa hampa tanpa kehadiran Reza. Hari ini akan ada pengumuman kelulusan Ujian Nasional. Hemmm… sebelum berangkat ke sekolah ku sempatkan memandangi foto Reza yang terpajang rapi di meja belajarku.

“Za, hari ini pengumuman. Hufftt, deg-degan nih za. Doain gue yah,” gumamku dan mencium foto Reza.

Aku bergegas berangkat kesekolah Ku harap hasilnya baik. Aku menira amplop yang berisikan sebuah hasil yang sangat ku harapkan. Bismillah, dan Alhamdulillah aku lulus dengan nilai yang memuaskan. Thanks God ! Semua orang berbahagia hari ini, ku rasakan kebahagiaan itu disekelilingku. Namun, hatiku sedih. Semestinya Reza ada di sini, merasakan kebahagiaan ini bersamaku, bersama kami semua. Handphoneku tiba-tiba berbunyi. Prisil, sebuah nama yang muncul.

“Halo..” ucapku mengangkat telpon.

“Kemakam Reza yuk Vhy!” ajak Prisil.

“Ayo..!”

“Aku jemput kamu yah!” ucapnya.

“Oke!” kataku singkat dan menutup pembicaraan kami di telpon.

Ditengah kesibukan para alumni SMA Kusuma bangsa yang mempersiapkan diri untuk berkonvoi, aku hanya berdiri di depan gerbang menunggu jemputan dari Prisil. Tak lama kemudian, Prisil pun datang. Kami segera menuju ke pemakaman. Sesampai di sana, aku kembali mati rasa. Tak ada yang ku rasakan. Ku lihat Prisil mendekati makam itu dan mengusap nisannya.

“Reza, aku sama Vhy datang nengokin kamu. Kami lulus za. Seneng banget rasanya. Namun, kesenangan ini hampa tanpa kamu sayang,” ujar Prisil. Air mataku mulai menetes, tapi bibirku begitu keluh. “Sayang, aku kangen sama kamu. Aku pengen ketemu kamu,” air mata pun menetes. Aku bisa memahami perasaan Prisil. Setahun lebih pacaran bukanlah waktu yang sebentar. Dan kini mereka terpisah oleh maut. Aku tak mendengar lagi apa yang diucapkan Prisil.  Kini pikiranku hanya tertuju kepada Reza.  Saat-saat bersamanya yang penuh warna. Bersama Reza kulalui hari-hari ceriaku, bersama Reza ku lalui hari-hari kelabuku, dan bersama Reza hari-hari lebih bermakna. Terima kasih Reza. You’re my angel.

“Vhy, udah mau pulang?” Prisil membuyarkan lamunanku. Namun, sebelum meninggalkan makam Reza, aku mendekatinya dan mencium nisannya. “Terima kasih untuk semuanya!” bisikku.

“Mau langsung pulang ato ikut konvoi Vhy?” tanya Prisil.

“Aku mau ke rumah Reza aja,” jawabku.

“Biar aku antar yah,’ tawar Prisil.

Sesampaiku di rumah Reza, suasananya begitu sepi. Sangat jauh berbeda ketika Reza masih hidup. Belum aku memasuki rumah, pasti kejailannya udah menggila. Tapi kini, kejailan itu nggak ada lagi menyambut kedatanganku. Nggak ada lagi kekesalanku dan nggak ada lagi tawa riang Reza.

“Eh, ada Vhy?” sapa tante Fanny saat aku memasuki rumah itu. DI rumah ini aku selalu diterima. Kata tante Fanny dan menurutku juga, ini udah menjadi rumah kedua bagiku. “Gimana tadi pengumumannya?” tanya tante fanny.

“Alhamdulillah tante, aku lulus,” jawabku dengan senyum bahagia.

“Syukurlah Vhy. Tante ikut senang,” katanya dengan mata berkaca-kaca.

“iya tante, makasih,” ucapku tersenyum. “Oh iya tante, aku bolehkan ke kamar Reza?” izinku.

“Ya tentu bolehlah Vhy. Masuk aja sayang,” ujarnya.

“Makasih tante,” ucapku lagi dan menuju ke kamar Reza.

Tak banyak yang berubah dari kamar ini. Hanya saja terlihat lebih bersih dari biasanya. Foto Reza pun masih terpajang dieberapa meja yang ada di kamar ini. Aku menghampiri foto yang ada di meja belajar Reza dan duduk di kursi kesayangannya.

Za, mestinya kita lulus bareng. Mestinya kamu ada di sini. Ngerayain kebahagiaan ini za. Semuanya hampa tanpa kamu. Reza, kamu pernah bilang ke akau, kalau aku sedih aku harus inget kamu. Tapi , semakin aku inget kamu, aku semakin kangen za.

Air mataku tak tertahankan lagi. Perasaanku seakan terluapkan. Hari ini, aku seakan bermimpi kalau kamu benar-benar udah nggak ada. Begitu sulit untuk dapat percaya. Aku berusaha tegar, tapi aku tetap Vhy yang lemah. Kenapa kamu ninggalin aku za? Kenapa kamu pergi secepat itu?

Rasanya percuma aku mengeluh seperti ini. Semua ini adalah takdir. Aku beranjak dari kursi menuju tempat tidur Reza. Ku ebahkan tubuhku. Begitu lelah rasanya. Ku peluk foto reza dan mencoba memjamkan mata. Elum sempat aku terlelap dalam tidur, ada sosok cowok yang erdiri di dekat jendela kamar Reza dengan senyumnya yang indah.

Yah, itu Reza. Sosok yang amat ku rindukan. Aku pun terbangun dan duduk tak beranjak dari kasur itu. Reza menghampiriku dan duduk disampingku. Air mataku kemali erlinang menatap wajah yang tengah tersenyum itu.

“ ini eneran Reza ?” tanyaku tak percaya. Dia pun mengangguk. Aku langsug memeluknya, “gue kangen anget ma lo,” ujarku.

“Gue juga Vhy,” ucapnya.

Ku peluk tubuhnya, begitu hangat berada didekapannya. Aroma tubuhnya yang begitu wangi membuatku benar-benar dalam situasi yang menyenangkan. Ya Allah, aku tak ingin kehilangannya lagi. Aku tak ingin melepasnya dalam pelukanku.

“Jangan nangis lagi yah Vhy!” pintanya saat melihatku menangis. “Lo kan udah janji.”

“Hmm… iya Za,” ucapku dan melepas pelukanku. Dia pun mengusap air mataku. “Jangan pergi lagi yah Za!” pintaku.

“Kenapa?” pertanyaan yang aneh bagiku.

“Gue nggak sanggup kalo harus jalani semua ini sendiri,” jawabku.

“Lo nggak sendiri kok. Lo punya banyak orang yang sayang ma elo. Bokap nyokap, kak Rafa, Prisil, Vito, dan temen-temen elo.”

“Beda za. Rasanya beda tanpa elo. Semua terasa hampa.”

“Vhy, gue selalu ada kok di dekat elo. Baik sebagai kenangan ataupun dalam sebuah sosok yang mungkin bakal lo temuin suatu saat nanti. Ingat Vhy, yang abadi hanyalah kenangan.” Jelasnya. Akupun mengangguk dan tersenyum, meskipun ada kalimat yang tak dapat ku mengerti. Sosok yang akan ku temui suatu saat nanti? Yah, aku tak mengerti kalimat itu.

Reza kembali mengusap air mataku. “Lo harus kuat Vhy! Walaupun gue nggak ada di samping elo, tapi gue selalu ada di hati elo,” terangnya lagi.

Aku kembali memeluknya. Berbeda dengan yang sebelumnya, kini tubuh Reza terasa dingin. “Vhy, gue harus pergi. Gue bakal selalu liat elo dari atas. Dari tempat terbaik untuk memandan elo Vhy. Baik-baik yah Vhy. I miss you,” ucapnya. Dia beranjak dari duduknya berjalan menuju jendela tempatnya tadi berdiri.

“Reeezzzzaaaaa, jangan tinggalin gue!” teriakku. Namun dia tetap berlalu dengan senyum merekah di wajahnya. “Reeeeeezzzzzzzzzzaaaa…….” Jeritku dan membuatku kaget sendiri. Aku pun tersadar, bahwa ini hanyalah mimpi. Reza udah nggak ada. Aku harus mengikhlaskannya.

Ku pandangi foto dalam pelukanku. Meskipun Reza udah nggak ada, namun dia tetap ada di hatiku. I miss you too Reza. Senyumanmu akan abadi. Selamanya, bersammaku dikehidupan ini..

Masamba, 04 Juli 2011

Selasa, 14 Agustus 2012

51 Tahun Gerakan Pramuka

Tri Satya !
Demi kehormataku aku berjanji akan bersungguh-sungguh :
-menjalankan kewajibanku terhadap Tuhan, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan menjalankan pancasila.
-menolong sesama hidup dan ikut serta membangun masyarakat.
-menepati dasa dharma #ulang janji (ˇʃƪˇ)#

Tak terasa usiamu kini sudah 51 tahun...
usia yang menapak senja..

Masihkah ada PRAMUKA dihatiku dan hatimu?
Sebuah pertayaan untukku dan untuk kita semua..

Sebuah harapan yang ku haturkan hari ini...
Semoga hatiku tak pernah lelah untuk terus memandu dan mengabdi bersamamu (ˇʃƪˇ)

Satu Hati, Satu Janji, Satu Ibu Pertiwi..
Satu Pramuka untuk Satu Indonesia

Saya berharap CIKAL itu akan tumbuh subur dihati kita semua..
dan tetaplah berbakti pada ibu pertiwi dengan satu tujuan, TETAP JAYA PRAMUKA-KU !
Kami jadi PANDU-mu....

Selamat Hari Pramuka ke-51
Tingkatkan Kemandirian Gerakan Pramuka Untuk Keberhasilan Pembetukan Karakter Kaum Muda..

SATYAKU KU DHARMAKAN , DHARMAKU KU BAKTIKAN

Senin, 13 Agustus 2012

Senang bisa mengenalmu ^^

Saya tidak tahu harus memulai tulisan ini darimana dan bingung sendiri dengan awal kisah ini ? Hehehe
Ini bukan tentang Aku, tentang JELEK, ataupun Garuda Kecil :)
Dia orang baru yang memasuki kehidupanku...
Sebelum aku terlalu jauh megungkapkan siapa dia, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada dia karena telah memberi warna baru di kehidupanku :)

Sebuah karakter yang unik :)
Kamu adalah orang pertama yang belum pernah ku temui, namun telah berhasil membuatku meluapkan segala apa yang ada di benakku..
Memang kamu bukan satu22nya, karena aku punya sahabat yang setia mendengar keluh kesahku...
Ini yang menjadi pertanyaanku, kenapa kamu mendengar keluh kesahku ?  Tak bisakah kamu menacuhkannya ketika aku dengan tak sadarnya meluapkan segalanya ?
Mungkin itulah pribadimu...

Supel, baik, pengertian, dan entah dengan kata22 apalagi aku menggambarkan karaktermu.. Enough for me to receive it...

And somehow all of this exists ?
Aku yang menyebalkan #itu katamu dan memang benar# entah apa yang membuatmu tahan dengan sikapku itu ? Sekali lagi kuucapkan terima kasih karena bisa menerima segala sifatku #I think# 
Sorry do not forget to also say...
Untuk segala sifat burukku !

Harus ku akui, kadang kamu terasa membosankan #peace up v(ˆ▿ˆ)#
Membosankan ketika kamu terlalu baik kepadaku :) Bukanya aku tak suka, hanya saja aku tak tahu harus membalas kebaikan itu dengan apa ? #mungkin ini mejawab segala penolakanku (⌒˛⌒ )#

Dan , sesuatu yang akan membuatku mungkin merindukanmu adalah "Tawa Lepas-mu".. Tawa yang ketika aku mendengarkannya akan membuatku tersenyum simpul :)

Finally, welcome to my world :)
Thanks and also sorry for everything..
Semua hal yang tak bisa ku rangkaikan dengan kata22 (з´⌣`ε)
Senang bisa mengenalmu !

Jumat, 10 Agustus 2012

I want forever (≧▽≦)づ♥

Aku menemukannya.. bagian dari sisi kehidupanku..
Aku tidak pernah menyangka akan sangat bergantung padamu, tapi realitanya sungguh berbanding terbalik dengan yang ada di pemikira kita...
bersamamu aku berbagi sedih, senang, amarah, dan kekonyolan22 yang selalu membuatku berarti disampingmu..

I hope this will never end...
because only with you I really feel the serenity...


Kita pernah saling mengacuhkan karena sebuah keegoisan dari nalarku..
Dan sungguh ketika itu, aku seakan kehilangan sebagian dari diriku :(
Tak ingin lagi ku ulangii !

I do not want to lose you again.

Keras kepala (?') Yah , itulah persamaan diantara kita.. Persamaan yang sulit menyatukan kita...
Dan kau tahu, ternyata perbedaanlah yang membuat aku dan kamu benar22 berada pada dinding persahabatan..

Ketika kita terjatuh, kita saling membangkitkan...
Ketika kita kehilangan arah, kita saling memberi petunjuk..

Kamu yang telah menjadi bagian dari kehidupanku...
Menyadarkanku dari sebuah tidur panjang tentang perasaan yang selalu mengharap..

Nasehat, marah, bahagia, dan semua curahan kehidupan kamu tunjukkan padaku...
Terima kasih untuk persahabatan ini..

Kesenangan dan kecerian itu selalu ada :)
Selalu ada diantara kita dan sungguh aku ingin selamanya 
(˘ʃƪ˘)
(≧▽≦)づ♥ JELEK ! :*