Cerita ini hanya fiktif belaka. Apabila terdapat kesamaan nama, tokoh, karakter, dan tempat itu bukanlah kesengajaan ^_^
*******************************
Ku pandangi tubuh yang terbaring
lemah di hadapanku. Wajah pucat dan alat-alat medis disekitar tempatnya berbaring.
Reza, seorang cowok yang kini berjuang untuk hidupnya melawan penyakit yang
menggerogotinya.
Terbaring lemah di rumah sakit
membuat orang-orang disekitarnya merasa iba dan prihatin, serta membuat
orang-orang disekitarnya merasa kesepian dan kehilangan. Keceriaan yang selalu
terpancarkan diwajahnya tak ku sangka ternyata itu adalah selimut untuk
menyembunyikan derita batinnya. Bagiku, Reza bukan hanya sekedar sahabat
terbaik, tapi dia lebih dari segalanya. Jika melihat kedekatanku dengan Reza, orang-orang
mungkin akan beranggapan bahwa kami ini berpacaran, tapi itu salah! Kedekatan
dan kebersamaan kami melebihi segalanya. Kami adalah sepasang sahabat yang akan
selalu melengkapi. Namun, kini sahabatku terbaring lemah tak berdaya. Tak ada
yang bisa ku lakukan selain berdoa untukmu sobat.
“Vhy, sebaiknya kamu pulang dulu
nak!” kata tante Fanny, ibunda Reza. “Kamu pasti capek dari sekolah langsung
kesini,” sambungnya.
“Nggak kok tante. Lagian aku
masih mau di sini,” jawabku sambil tersenyum.
“Vhy, ingat! Kamu juga harus jaga
kesehatan. Reza pasti sedih kalo kamu sakit,” ujarnya lagi. Beliau memang
begitu perhatian. Dia juga sudah begitu mengenalku. “nanti mama kamu khawatir
loh,” ucapnya lagi.
“Aku udah izin sama mama kok
tante. Nanti juga mama bakalan ke sini,” jelasku.
“Syukurlah,” ujarnya tersenyum.
Ku pandangi wajah wanita 40 tahun
itu, begitu kusam. Pesona kecantikannya mulai memudar. Kantong mata yang
membengkak menandakan bahwa wanita ini tak hentinya menangis. Senyuman manis
dari bibirnya tak pernah ku lihat lagi selama 3
hari ini. Senyuman yang diturunkannya kepada putra bungsunya itu. Yah,
senyuman Reza. Senyuman yang telah membohongi seluruh dunia, senyuman yang
selalu dibagikannya walau dalam perih sekalipun, dan senyuman itu pula yang
selalu meluluhkan hatiku.
Seingatku, selama aku mengenal
Reza 10 tahun yang lalu, aku tak pernah melihatnya mengeluh, meringis kesakitan
pun tak ku temukan dari raut wajahnya. Yang ada hanya keceriaan dari senyumanya
yang begitu indah dan memikat.
Menurut teman-teman di sekolahku,
senyuman Reza itu adalah senyuman maut. Tiap orang yang melihatnya langsung
terpikat. Haha, ada-ada jaj. Tapi yah , menurutku sih juga begitu. Mereka juga
sering berkata, kalau aku beruntung banget bisa bersahabat karib dengan Reza.
Hemmm… aku mengerti kenapa mereka berkata seperti itu ? itu karena Reza
merupakan salah satu cowok yang bisa dibilang perfect dan paling digandrungi
sama cewek-cewek sdi luar sana.
Masih segar diingatanku saat
salah satu siswi kelas XI IPS 1 mengungkapkan perasaannya kepada Reza. Yah,
waktu itu aku sedang menikmati makananku di kantin sekolah bersama teman-teman
sekelasku dan tiba-tiba Reza datang dengan nafas terengah-engah. “Napa lo za?”
tanyaku heran melihatnya.
“Gila tuh cewek-cewek XI IPS1,
masa gue mau dikeroyok?” jawabnya dengan nafas setengah memadai. Hehe
“Haa? Dikeroyok?” tanyaku kaget.
“Iya, dikeroyok.” Tegasnya. “Gue
pengen diseret ke kelasnya, padahalkan gue nggak mau,” terangnya dengan wajah
yang sok polos.
“Kan lo cowok, kenapa nggak lo
lawan?”
“Justru karena gue cowok makanya
gue nggak lawan,” ucapnya. “Mau ditaroh dimana muka gue kalo gue ngelawan
cewek,” ucapnyadengan ekspresi lucu.
“iya juga yah. Hehehe,” tawaku.
“Rese nih adek kelas,” gumamku. “Guys, ke kelas XI IPS1 yuk, cewek-ceweknya
reza,” ajakkukepada teman-temanku.
“Yuk!” sahut mereka.
“Ayo ! Lo juga harus ikut!,”
pintaku dan menarik dasi Reza.
Kami pun menghampiri kelas cewek
itu. “Woi, siapa yang berani keroyok sobat gue?” gertakku saat tiba di kelas
tersebut. Terlihat siswi-siswi dikelas itu terdiam dan memandang ke arah salah
satu siwi yang dikerumuni beberapa siswi lainnya tengah menangis. “Lo yang
nyuruh cewek-cewek di kelas ini ngeroyok Reza?” tanyaku dengan nada suara
tinggi.
“Aku nggak nyuruk ngeroyok kak,”
jawabnya dengan wajah memelas tapi sok imut.
“terus?” Tanyaku singkat.
“Aku Cuma mau kak Reza ke kelas
aku,” jawabnya.
“Masalahnya apa coba,” heranku
“Aku pengen ngungkapin perasaan
aku ke Kak Reza, tapi kak Rezanya nggak mau ke kelas. Jadi, aku nyuruh
temen-temenku ngebujuk kak Reza biar mau ke kelas aku kak. Itu doing kok,”
jelasnya panjang lebar. Oo..oo.. Aku rasa akan ada lagi yang sakit hati karena
Reza. Hahaha.
“Ya udah, Rezanya udah ada di
sini, silahkan bilang yang pengen lo ungkapin!” pintaku. Gadis itu pun berdiri
dari duduknya dan menghampiri Reza. Terlihat gadis itu agak malu-malu untuk
mengungkapkannya. Dia memberikan sebuah coklat dan bingkisan yang berbentuk
hati. Aku menoleh kea rah sahabatku itu, dia pun memandangiku seraya tersenyum.
Hemm, Reza kenapa mesti tersenyum seperti itu ? Kadang senyumannya membuat
jantungku berdebar begitu cepat. Entah mengapa seperti itu ?
Aku kembali memandangi gadi itu,
Penuh rasa takut, itu yang dapat ku baca dari raut wajahnya. “Kak, sudah lama
aku suka sama kakak. Aku harap kakak bisa nerima aku jadi pacar kakak,”
ungkapnya seraya merunduk dan menyodorkan coklat dan bingkisan itu kepada Reza.
“kenapa kamu suka sama aku?”
pertanyaan yang aneh dari Reza.
“Entahlah kak? Bagi aku kakak itu
udah kayak malaikat. Baik, ramah, pokoknya sempurna di mata aku. Selain itu,
kakak juga cakep. Dan yang paling utama dan menjadi cirri khas kakak, yaitu
senyuman kakak yang telah memikatku,” jelasnya. Aku berpikir, jika alas an
gadis inikarena senyum Reza maka, tidak lama lagi gadis ini akan pingsan di
hadapan kami semua jika Reza memberikan senyuman itu.
“Tapi maaf…,” baru kata itu yang
terlontar dri mulut Reza, gadis itu kembali menangis tersedu-sedu. Reza
menlanjutkan kalimatnya, “aku udah punya pacar.” Aku tesenyum mendengarkan
pernyataan Reza. Akhirnya dia mempublikasikan hubungannya, setelah setahun
lebih dia berpacaran dengan seorang gadis yang tak pernah diketahui oleh seluru
penghuni sekolah ini, kecuali aku tentunya.
“Aaa… aaa.. apaa ? Kakak udah
punya pacar?” gadis itu terlihat shock. Seisi ruangan pun heboh membicarakan
hal itu.
“yah, aku udah punya pacar,”
Jelas Reza. Gadis itu semakin meneteskan amatanya dan tiba-tiba dengan sapu
tangan yang dipegang Reza, Reza mengusap air mata gadis itu dan tersenyum
manis. Alhasil, gadisitupun pingsan dihadapan Reza, seperti dugaanku. Sontak
seisi ruangan kaget, begitupun dengan Reza. Dia menoleh ke arahku sambil
menaikkan pundaknya dan mengerutkan dahinya seraya tersenyum. Aku hanya
menggelengkan kepala melihat Reza.
Yah, satu lagi peristiwa yang
dialami Reza yang tak akan aku lupakan. “Vhy?” sebuah suara membuyarkan
lamunanku. Aku menoleh, “mama?” sapaku.
“Ini mama bawaiin makanan buat
kamu dan tante Fanny,” kata mama sambil memberikan kantongan yang dibawanya
kepadaku.
“Kenapa mesti repot-repot sih mbka?”
ujar tante fanny.
“Nggak kok Fan. Udah, kalian
berdua makan dulu. Biar aku yang jagain Reza disini!” pinta mama. Mama dan
tante Fanny memang sudah kenal sejak dulu, makanya aku bsia akrab dan
bersahabat karib dengan Reza. Itu semua karena keluarga kami memang sudah
saling mengenal.
Masih teringat saat pertama aku
mengenal Reza. Dia pemalu, tapi jahilnya minta ampun. Saat itu, Om Rio dan
tante Fanny baru saja menempati rumah barunya. Umurku baru 7 tahun, begitu juga
dengan Reza. Mama dan papa aku pun menghadiri acara pindah rumah tersebut.
Maklum, mama dan Tante Fanny sudah saling kenal. Dulunya mama tinggal di rumah
tante Fanny saat duduk dibangku SMA dan waktu itu tante Fanny masih SMP. Bagi
mama, tante Fanny sudah seperti adik kandungnya sendiri. Begitupun aku dan
Reza, sudah kayak saudara kandung sendiri.
Reza punya seorang kaka
laki-laki. Namanya Rafael, tapi kami memanggilnya kak Rafa. Aku dan Reza banyak
berterima kasih kepada kak Rafa. Karena ulahnya waktu itu, aku bisa akrab
dengan Reza. Aku juga beretrima kasih kepada Reza, karena senyumannyalah yang
menarikku kedalam kehidupannya.
“Vhy, jangan melamun aja. Ayo
makanannnya di makan!” tegur tante Fanny.
“Iya tante,” sahutku. Aku mulai
menyantap makanan buatan mama dan hal ini kembali mengingatkanku akan
kebersamaanku dengan Reza. Yah, setiap main ke rumah dan mendapati mama sedang
memasak, dia pasti selalu menggodanya, “hemm… baunya harum banget tante. Pasti
rasanya sedap banget.” Kata itulah yang selalu dilontarkannya jika sudah
mendekati mamaku di dapur. Dan jika dia sudah menyantapnya, maka akan terucap
kata, “Wah, enak banget tante.” Hahaha, kalimat itu selalu membuatku tetawa
geli. Itulah Reza, pandai memikat hati siapapun. Aku mencoba menikmati
makananku. Namun, air mataku menjadi bumbu santapanku ini. Kapan aku bersama
Reza lagi melewati hari-hari ini?
“Kok nangis vhy?” Tanya tante
Fanny.
“Cuma ingat Reza tante,” jawabku
mencoba tersenyum.
“Pati kamu merasa kesepian, sama
kayak tante.”
“iya tante. Oh iya, hari ini
Prisil nggak dating tante?” tanyaku.
Prisil adalah gadis yang telah
mimakat hati Reza dan telah menemani Reza selama setahun ini. Karena Prisil
pula Reza bisa member alas an kepada gadis-gadis yang pernah mengungkapkan
perasaannya kepadanya.
“Udah tadi pagi sebelum ke
sekolah. Katanya hari ini dia nggak bisa nemenin Reza. Ada pelajaran tambahan,
makanya tadi pagi dia mampir. Maklum, kalian inikan udah kelas 3 SMA. Kalian
harus lebih focus belajar. Kamu juga Vhy,” terang tante Fanny.
“Hehe, iya tante,” ujarku. Tidak
lama lagi kami akan menghadapai unjian sekolah dan ujian nasional. Memang
semestinya aku belajar lebih serius lagi, tapi 3 hari ini aku tak pernah
konsentrasi belajar. Semuanya karena Reza. Hal ini kembali mengingatkanku akan
kejadian 3 hari yang lalu, sebelum akhirnya Reza terbaring lemah di rumah
sakit.
Hari itu, ku lihat Reza yang
begitu ceria dan penuh semangat sedang bermain basket bersama anak-anak SMA
kusuma Bangsa yang lain. Aku duduk disalah satu bangku yang terletak di koridor
yang menghadap ke arah lapangan basket dan memandangi Reza yang sedang bermain.
Begitu keren sahabatku ini. Aku berpikir jika seandainya aku dan Reza bukanlah
sahabat, apa mungkin akan seakrab ini? Apa mungkin aku bisa melalu hari-hari
sulitku yang hamper seluruhnya dihiasi oleh senyuman Reza.
“Ehem.. lagi ngelamun aja bu?” aku menoleh kea rah
suara itu.
“Vito?” ucapku. Vito adalah cowok
yang telah mengisi hatiku selama sebulan ini. Yah, bagiku dia baik, namun agak
posesif. Jika dibandingkan dengan Reza, Reza jauh lebih baik. Begitulah aku,
selalu membanding-bandingkan Vito degan Reza dan hal itu yang kadang membuat
mereka berdua ilfeel. Kata Vito, mereka tak pantas untuk disama-samakan, akrena
mereka adalah pribadi yang berbeda. Terkadang Vito cemburu kepada Reza, dan
akupun harus berusaha meyakinkannya dan hal itu yang selalu menjadi
pertengkaran dianatara kami.
“Reza emang keren yah?” katanya
dan duduk di sampingku.
“Hemm..,” gumamku seraya
mengangguk.
“Gue rasa Reza suka sama elo,”
sebuah pernyataan yang begitu mengejutkanku.
“Apa-apaan sih lo Vit ? Jangan
ngaco deh !” kesalku.
“Gue nemuin ini jatuh dari salah
satu buku Reza saat di ambil dari lokernya,” katanya sambil menyodorkan sebuah
foto. Itu fotoku.
“Asataga Vit, lo cemburu hanya
karena sebuah foto? Dan elo berfikir kalo Reza suka am ague ? Ckckckc,” aku
menggeleng-gelengkan kepalaku, seakan tak menyangka jika Vito akan cemburu
hanya karena hal kecil seperti ini. “Gimana coba kalo lo liat kamarnya Reza,
hapenya, atau album-album fotonya. Mungkin lo udah meledak gara-gara cemburu,”
sambungku.
“Gue tau itu. Tapi untuk apa Reza
nyimpen foto lo dibukunya?” tanyanya.
“kenapa sih lo nggak bisa
ngertiin gue ma Reza? Reza sahabat gue, dia juga udah punya cewek,” jelasku
ilfeel.
“Justru gue udah ngertiin elo ma
sahabat lo itu.”
“Ngertiin? Lo banyakan
cemburunya.”
“Wajarlah gue cemburu. Mana ada
orang yang mau ceweknya deket ma cowok laen?” suara Vito mulai terdengar keras.
“Kenapa sih lo nggak bisa kayak
Prisil? Dia lebih bisa ngerti daripada elo,” aku mulai membandingkannya lagi.
“Inilah gue. Gue apa adanya. Lo
nggak perlu ngebanding-bandingin gue ma orang lain.” Suara Vito mulai
menjadikan kami pusat perhatian. Aku segera menarik Vito, menghindari sorotan
mata para siswa-siswi SMA Kusuma. Ku tarik dia ke dekat tangga, yang lokasi itu
memang selalu sepi.
“Gue kecewa ma elo Vit!” ucapku.
“Mungkin hubungan kita nggak bisa bertahan lama,” sambungku dengan mata yang
berkaca-kaca. Seakan tajk percaya kalau orang yang aku saying nggak pernah bisa
mengerti akan keadaanku.
“Maksud lo, kita putus?” Vito mencoba
memperjelas. Aku pun mengangguk. “Masa gara-gara hal ini kita mesti putus?”
“Kalo lo mau ngubah sifat jealous
lo itu, mungkin hubungan kita masih bisa bertahan,” ucapku yang mulai
meneteskan air mata dan meninggalkan Vito menuju kelasku.
“Vhyyyyyy !” teriak Vito, namun
aku tak mempedulikannya.
Saat aku tiba di kelas, belum
sempat aku duduk di bangkuku, ku dapati seseorang mengotak-atik tasku. Reza?
Apa mungkin Reza tau kalau aku berantem dengan Vito ?
“Lo berantem yah ma Vito?” Tanya
Reza saat aku duduk di sampingnya. Ku jawab pertanyaan itu dengan isyarat
mengangguk. “Gara-gara gue?” tebaknya
“GeeR lo!” candaku.
“Trus, napa lo nangis?” Tanya
lagi.
“Cerewet lo,” ucapku
“Dari pada elo, cengeng!”
“Apa ? Cengeng ?” aku tak pernah
menerima kalo Reza memanggilku cengeng. Tiba-tiba dia memotretku dendan
handphonenya. “Apaan sih lo? Dasar bau!” ledekku.
“Enak aja. Gue wangi tau,”
narsisnya.
“Lo bau keringet,” sambungku.
“Biarin aja, yang penting gue
dapet foto lo lagi mewek,” ledeknya seraya tersenyum. Senyuman itu membuatku
merasa lebih baik.
“Jangan senyum lo ! Jelek tau,”
candaku.
“Jelek apa cakep?” godanya.
“Jelek,” kataku. Reza kembali
tersenyum. Kini lebih mempesona dari yang tadi.
“Pulang yuk!” ajak Reza. “Udah
nggak ada pelajaran nih. Mending belajar di rumah,” sambungnya.
“tumben lo mau belajar?” ledekku
lagi.
“Hellooo, guekan emang rajin.
Nggak kayak lo tuh yang males,” sahutnya. Jika dibandingkan dengan Reza, dia
memang lebih pintar dan lebih rajin dariku. Reza duduk di kelas exact ,
sedangkan aku di kelas sastra. Aku memang lebih tertarik terhadap sastra, beda
dengan Reza yang lebih menyukai sesuatu yang berbau ilmiah.
“Hahaha, iya, iya..” tawaku.
“Makanya, lo harus rajin belajar!
Jangan banyakan maen! Nggak lulus tau rasa lo,” ujar Reza.
“Jahat amat lo ngedoaiin gue
nggak lulus,” aku nyolot.
“Dasar lo! Siapa juga yg
ngedoaiin lo nggak lulus? Siapa coba yang mau lihat orang yang disayangnya
nggak sukses?” kata-kata itu membuatku semakin berarti di hidup Reza. “ Ingat
Vhy, kita punya prinsip loh, masuk bareng , keluar juga bareng.” Kataya. Yah,
kami telah berjanji bersama.
“Iya Za, gue inget kok,” ujarku
sambil tersenyum. “Yuk pulang!” aku menarik lengan Reza.
“By the way, nih foto lo yang
lagi mewek bagus banget yah di upload. Biar seluruh dunia tau kalo lo tuh
cengeng. Hahaha,” ucap Reza dan segera berlari.
“Oh no! Reeezzzzzaaaaaa !”
teriakku mengejarnya.
“Gue Cuma pengen bantu lo jadi
terkenal Vhy. Hahaha…,” teriaknya.
Di sepanjang koridor sekolah, aku
dan Reza menjadi pusat perhatian. Dari kerasnya suara kami dan tingkah laku
kami yang kejar-kejaran kayak anak kecil. Hingga Reza berhenti berlari ketika
keluar di halaman sekolah. Dia berdiri tegak, diam tak bergerak. Aku segera
menghampirinya. Jangan sampai dia benar-benar mempublikasikan foto itu.
“Dasar lo, jahat !” ucapku saat
berada di dekatnya. Mendengar ucapanku, Reza hanya tersenyum dan mulai berjalan
kembali. Terlihat tangan kanannya yang memegang handphone di letakkan di dada
kirinya. Aku tak tau apa artinya itu?
“Reza..?” aku mulai angkat bicara.
“Hemm…” sahutnya.
“Kita udah mulai dewasa, sampai
kapan yah kita kayak gini?” tanyaku. “Dan sampai kapan juga senyum lo bakal
jadi obat di kehidupan gue?” sambungku dan menoleh ke arah Reza. Ku lihat dia
hanya tersenyum menunduk dan sesaat dia pun mengangkat kepalanya dan berkata
“Sampai kapan lo mau dan sampai kapan lo inget.”
“Gue pengen selamanya,” sahutku.
“Kalo gitu, lo harus jadiin itu
sebagai kenangan,” ujarnya.
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Karena nggak ada yang abadi,
yang abadi itu hanyalah kenangan,” jawabnya menoleh kepadaku sambil tersenyum.
Kata-kata dan senyumannya membuatku luluh. Senyuman itu sungguh indah dan
mempesona. Aku tak tahu kata apa yang lebih pantas melukiskan senyumannya.
Senyuman it uterus merekah, hingga akhirnya Reza terlihat pucat.
“Za, lo nggak papa?” tanyaku
khawatir. Tak ada jawaban darinya selain senyumannya yang merakah. Namun, wajah
itu semakin pucat dan akhirnya Reza terjatuh tak sadarkan diri. Hal itu
membuatku panic dan seakan kehilang kesadaran. Aku tak tahu apa yang ku lakukan?
Semua kembali jelas dalam penglihatanku, saat tiba di rumah sakit dan hari itu
akhirnya aku tahu kalau selama ini Reza mengidap kanker paru-paru. Setelah
sekian lama aku mengenal Reza, aku baru tahu 3 hari yang lalu tentang kondisi
Reza yang sebenarnya.
Sahabat macam apa aku ini ? Tak
tau derita sahabatnya. Aku kembali meneteskan air mata setelah mengingat semua
kejadian itu. Kini, sudah 3 hari Reza terbaring di sini. Berjuang seorang diri.
Reza, maafkan aku! Aku tak pernah ingin tahu apa yang sedang kamu alami. Aku
memang bukan sahabat yang baik. Hanya doa yang bisa kuberikan untukmu kini.
Entah apa yang ku lakukan selama
ini di sampingmu? Hingga aku tak tahu apa-apa tentang semua ini. Aku begitu
terlena dengan senyumannya dan berpikir Reza tidak dalam kesulitan. Sungguh
bodoh!
“Fanny, Vhy…! Reza sadar,” teriak
mama. Hal itu membuatku sangat senang dan segera berlari ke samping Reza.
Begitupun dengan tante Fanny. Dia menggenggam tangan putra itu. “Reza, ini mama
nak,” ujarnya.
“Mama?” kata pertama yang terucap
dari bibir Reza. “Maafin Reza ma…” kalimat itu seakan menyayat hati. Begitu
haru keadaaan saat ini. Dengan suara yang lemah Reza tetap berusaha untuk
berbicara. Ku lihat tante Fanny kembali meneteskan air matanya menatap Reza dan
membelai rambut putranya itu. “Reza minta maaf yah mah. Selama ini Reza udah
ngerepotin mama dan Reza belum bisa bahagiaan mama, papa, dan kak Rafa.” Begitu
menyentuh kata-kata itu. Tak kuat rasanya melihat hal ini.
“Nggak kok sayang. Itu emang udah
sewajarnyakan. Kamu kan anak mama. Itu udah kewajiban mama untuk menjaga kamu
sayang. Kamu nggak salah apa-apa kok.” Tante Fanny mengecup kening Reza.
Tiba-tiba mama merangkulku. Mungkin mama sadar kalau aku begitu terharu dan
seakan tak kuat melihat peristiwa ini.
“Reza..!” suara om Rio yang baru
saja tiba. “Oh sayang, akhirnya kamu siuman,” ucapnya dengan mata yang
berkaca-kaca.
“Papa?” sapa Reza.
“Kamu harus kuat nak,” ucap om
Rio menyemangati putranya. Reza kembali tersenyum dan hal itu membuat
perasaanku agak lebih baik.
“Maafin Reza yah pa ?” ucapnya.
“Iya nak,” ujar om Rio dan
membelai anaknya. Om Rio dan Reza memang sangat dekat. Bagaikan kakak dan adik.
Itu semua karena sifat Reza yang friendship. Berbeda dengan Rafael yang dingin
dan agak tertutup. Tapi, Reza dan kak Rafel juga sangat dekat. Tak pernah
sekalipun aku melihat mereka berantem. Yah, mereka kakak adik yang istimewa.
“Pa, Reza titip mama dan kak Rafa
yah!” Kalimat itu membuat jantungku berdegup kencang. Perasaan khawatir mulai
menggerogoti batinku. Ya Allah, aku tak ingin kehilangan dia.
“Iya sayang. Papa pasti jagain
mereka. Makanya Reza cepet sembuh yah!” ucap Om Rio. Reza hanya membalasnya
dengan senyuman. Tiba-tiba Reza menoleh ke arahku dan tersenyum.
“Vhy..” ucap Reza.
“Iya Za?” jawabku yang masih
menangis.
“Dasar cengeng!” kata-kata itu
membuatku aget. Oh my God Reza! Disaat-saat seperti ini ternyata dia masih
menginggat semua peristiwa yang kemarin dan masih bisa bercanda. Semoga ini
pertanda baik ya Allah. “Jangan ada air mata lagi Vhy!” sambungnya. Sejenak aku
terdiam. Ku genggam tangan Reza dan mengangguk menandakan iya. Melihat isyarat
dariku, Reza pun tersenyum. Ku pandangi orang-orang disekelilingku. Mama, Tante
Fanny, dan Om Rio, seakan mereka juga merasakan keharuaan ini.
“Heii, gue punya foto-foto lo
selama baring di sini. Kalo lo nggak cepet sembuh, gue bakal upload tuh foto,”
ancamku yang ingin member semangat kepada Reza. Tak ada kata yang terucap
darinya, hanya senyuman yang merekah indah dibibirnya. “Cepet sembuh lo yah,
bentar lagi ujian loh. Ingat! Masuk bareng keluar juga bareng,” ucapku lagi.
Namun, hanya senyuman itu yang ku lihat. Semakin indah. Ku genggam tangan Reza
erat-erat. Ku rasakan denyut nadinya, begitu lemah. Aku mencoba menatap matanya
yang tengah menatapku. Ku rasakan kekuatan yang terpancar dari cahaya mata itu.
Namun, semakin lama cahaya itu mulai meredup , tapi Reza senyuman Reza tetap
merekah. Hal itu yang membuatku tidak khawatir. Ku lihat Reza mulai memejamkan
matanya kembali. Mungkin dia lelah dan ingin tidur sejenak. Aku merasakan
denyut nadi Reza yang semakin melemah. Oh Tuhan, jangan sampai yang ku takutkan
terjadi! Jangan Kau ambil dia! Semakin lama denyut nadi itu semakin lemah,
hingga akhirnya denyut nadi itu tak ku rasakan lagi. Innalillahi Wainnailaihi
Rajiun. Aku kehilangan dia, sahabatku Reza. Dia telah pergi meninggalkanku
untuk selamanya bersama sejuta kenangan.
Tante Fanny langsung memeluk
tubuh kaku Reza dengan penuh histeris. Om Rio pun sangat terpukul harus
kehilangan putra kesayangannya. Air mataku kini semakin menetes. Rasanya
tulang-tulang ini tak sanggup legi menopang tubuhku. Aku jatuh tersungkur di
samping tempat tidur Reza.. melihatku terjatuh, mama langsung merangkulku.
“Kamu harus kuat sayang!” bisik mama.
“Ma..Reza udah nggk ada ma. Reza
udah ninggalin aku,” ucapku meratap.
“Ini mungkin yang terbaik buat
Reza. Dia nggak harus lagi menahan sakit. Ikhlasin dia sayang?” mama mencoba
menenangkanku.
“Kenapa ma? Kenapa? Kenapa harus
secepat ini? Aku butuh Reza ma. Aku nggak mau kehilangan Reza. Aku nggak mau
ma,” aku pun semakin histeris.
Sesaat kemudian tim dokter tiba
di ruangan ini. Namun semua percuma. Reza nggak bakal balik lagi. Tante Fanny
dan Om Rio makin histeris. Aku tak sanggup berada di ruangan ini. Tak sanggup
rasanya aku melihat tubuh sahabatku yang pucat dan kaku. Aku mencoba
melangkahkan kaki untuk keluar dari ruangan ini. Namun, begitu berat.
Tulang-tulang begitu rapuh melangkah, tapi aku tetap berusaha. Aku tak mau
dibunuh oleh perasaanku dan perasaan orang-orang yang ada di ruangan ini.
Aku pun keluar dari ruangan itu
dan kudapati kak Rafael yang baru saja ingin memasuki ruangan. Tapi langkahnya
terhenti melihatku. Sesaat ekspresi wajahnya berubah dan bergegas memasuki
ruangan.
“Reeezzzzzzaaaaaaa!!!” teriakan
kak melengking hingga terdengar hingga di luar ruangan. Teriakan itu seakan
menjadi pedang yang menusuk jantungku. Begitu sakit mendengar hysteria kak
Rafael.
Ya Allah, begitu berat cobaan
yang kau berikan kepada kami. Aku mencoba kuat, tapi aku tak kuasa mendengar
hysteria di dalam kamar Reza. Tubuhku tersa lemas. Aku kembali jatuh tersungkur
dan menangis, menangis, dan menangis. Ku luapkan perasanku dengan menangis
sejadi-jadinya. Sesaat kemudian kak Rafael keluar dari ruangan tersebut dan
berdiri di hadapanku.
“Reza udah nggak ada Vhy. Gue
kehilangan adik gue. Adik terbaik di dunia ini,” ucapnya kepadaku.
“Iya kak” ucapku dan kembali
berdiri.
“Gue nggak mau kehilangan dia,
dia berarti banget Vhy,” ujarnya lagi dan langsung memelukku.
Aku larut dalam pelukan kak
Rafael, menangis bersama. Meluapkan segala kesedihan ini.
“Aku juga nggak mau kehilangan
Reza kak, tapi mau gimana lagi? Ini udah takdir,” aku mencoba menguatkan kak
Rafael.
Tak lama berselang jenazah Reza
pun dipulangkan ke rumah. Sesampainya di rumah duka, terdengar suara wanita
menangis histeris. Prisil, dia tak kuasa menahan kesedihannya. Ku lihat di tak
bisa menahan emosinya hingga jatuh pingsang. Aku dapat merasakan apa yang di
rasakan Prisil. Ku rangkul dia dan mencoba menyadarkannya. “ Prisil, kamu harus
kuat,” bisikku kepada Prisil. Terlihat dia mulai membuka matanya yang berlinang
air mata. Tiba-tiba seseorang memegang bahuku. Aku menoleh. Vito? Dia ada di
sini. Aku kembali focus kepada Prisil. Ku bombing dia masuk ke dalam rumah dan
di belakangku Vito mengikut. Aku, Prisil, dan Vito duduk di samping jenazah
Reza. Ku pandangi sekelilingku. Semuanya berduka. Ku tatap tubuh yang terbaring
kaku dihadapanku. Dia seakan tersenyum. Senyuman itu abadi bersama Reza. Tak
akan pernah hilang.
Aku tak kuasa menahan tangisku.
Aku memeluk tubuh kaku Reza dengan berlinang air mata. Rasanya tak percaya jika
saat ini Reza telah tiada. Tiba-tiba
Vito merangkulku, melepaskan pelukanku dari tubuh Reza dan menyadarkanku dalam
pelukannya.
“Menangislah!
Jika itu bisa meluapkan segala emosimu,” ucap Vito. “Aku tahu ini sulit bagimu,
tapi kau harus bisa mengikhlaskan Reza. Kamu harus kuat,” sambungnya. “Reza
tetap yang terbaik untukmu. Aku tak berniat untuk menggantikannya, tapi izinkan
aku menjadi tempat segala curahan emosimu hari ii, esok, dan selamanya.” Aku
semakin menangis tersedu dalam pelukan Vito. Entah apa yang aku pikirkan? Semua
terasa hampa.
***
Hari ini, jenazah Reza akan di
makamkan. Terkubur di perut bumi membawa semua kenangannya. Ku dekati tubuh dingin
yang kaku itu. Aku memandangi wajahnya untuk yang terakhir kalinya. Dia seakan
tersenyum, senyum yang tak akan pernah ku lihat lagi. AKu memejamkan mataku,
mencoba untuk mengingat senyum terakhir itu seraya meraba wajah dan bibir Reza.
Rasanya begitu sesak, ketika yang ada di pikirkan hal yang membuatku semakin
tak bisa kehilangan Reza. Aku mencium wajah itu, sebelum akhirnya kain kafan
membalut tubuh yang akan sangat amat ku rindukan.
Akhirnya Jenazah Reza siap untuk
dikebumikan. DIgiring ke ketempat
peristirahatan terakhirnya. Rasanya aku tak sanggup lakukan ini. Kakiku begitu
berat untuk melangkah. Ya Allah, kuatkan aku! Mudahkan langkahku untuk
mengantarnya kehadapan-Mu. Dengan hati yang mencoba ikhlas, ku iringi Reza
dengan langkahku. Ya Allah, begitu berat rasanya melihat detik-detik kepergian
sahabatku untuk selamanya.
Saat jenazah Reza dikuburkan,
beberapa kali Tante Fanny terlihat pingsan, sedangkan Om Rio dan kak Rafael
terlihat lebih tegar dari kemarin.
Prosesi ini begitu cepat berlalu.
Semua terasa hampa. Kini tubuh Reza sudah terbaring didalam tanah. Dalam
kegelapan yang akan disinari oleh senyumnya. Aku mencium batu nisan Reza.
Kembali, aku seakan tak percaya kehilangan dia. Para pelayat mulai pulang.
Namun aku masih di pemakaman itu, memeluk nisan Reza dan memandangi fotonya.
Tiba-tiba seseorang menyodorkan
sebuah bingkisan. Aku pun menoleh. Kak Rafael ? “Reza menitipkan ini pagi itu
sebelum dia masuk rumah sakit,” katanya sambil memberikan bingkasan itu.
“apa itu kak?” tanyaku penasaran.
“Aku juga nggak tau dek. Reza
hanya bilang, jika suatu saat dia tak mampu lagi bertahan, maka aku harus menyerahkan ini
padamu. Aku rasa Reza sudah punya firasat tentang semua ini,” terang kak
Rafael.
Aku pun mengambil bingkisan itu.
“Terima kasih kak,” ucapku. Ku buka bingkisan tersebut. Sebuah kertas, foto,
beberapa barang kesangan Reza, dan sebuah buku. Aku rasa itu buku harian Reza.
Dia memang gemar menulis dan menceritakan kisahnya.
Aku mengambil kertas secarik
kertas itu dan mulai membacanya.
“Vhy, maafkan aku jika aku menyimpan rahasia ini darimu. Bukannya aku tak menganggapmu, tapi ini semua ku lakukan demi kamu. Vhy.. di buku harian itu aku mengungkapkan semua tentangku. Tak ada lagi yang ku sembunyikan darimu. Alvhy Zahra Puspita, jangan meneteskan air mata lagi! Apa pun yang terjadi kamu harus kuat! Jika dulu aku selalu menghiburmu dikala sedih, kini mungkin tak bisa lagi, maka kenanglah aku. Jika senyumku membuatmu merasa tenang, maka ingatlah aku selalu. Vhy, mungkin aku udah nggak ada. Namun, aku selalu ada dihatimu. Ingat Vhy! Nggak ada yang abadi, yang abadi itu hanyalah kenangan. I Love You my best friend, I love you Vhy…”
“Vhy, maafkan aku jika aku menyimpan rahasia ini darimu. Bukannya aku tak menganggapmu, tapi ini semua ku lakukan demi kamu. Vhy.. di buku harian itu aku mengungkapkan semua tentangku. Tak ada lagi yang ku sembunyikan darimu. Alvhy Zahra Puspita, jangan meneteskan air mata lagi! Apa pun yang terjadi kamu harus kuat! Jika dulu aku selalu menghiburmu dikala sedih, kini mungkin tak bisa lagi, maka kenanglah aku. Jika senyumku membuatmu merasa tenang, maka ingatlah aku selalu. Vhy, mungkin aku udah nggak ada. Namun, aku selalu ada dihatimu. Ingat Vhy! Nggak ada yang abadi, yang abadi itu hanyalah kenangan. I Love You my best friend, I love you Vhy…”
“I love you too Reza!” ucapku
setelah membaca surat itu. Aku tak dapat membendung air mataku lagi. Ku
pandangi semua foto-foto yang ada dibingkisan itu, foto Reza dan beberapa
fotonya bersamaku. Semua foto-foto itu memancarkan senyuman Reza yang begitu
indah, senyuman yang tak akan pernah ku dapat lagi.
“Dulu sebelum mengenalmu, Reza
adalah anak yang lemah, manja, dan pemurung. Dia nggak pernah mau pisah dari
bokap nyokap. Dan kalo penyakitnya kambuh, dia pasti mewek, merengek dan bilang
jangan tinggalin Reza. Tapi setelah mengenal kamu, Reza mengalami perubahan
yang dratis. Dia udah nggak murung lagi, nggak manja dan selalu ceria. Dan
ajaibnya lagi penyakit mulai membaik. Dia jadi anak yang kuat,” Kak Rafael
menceritakan hal-hal tentang Reza dan aku mulai membuka tiap helai buku harian
Reza. “Tapi setelah beberapa tahun, penyakitnya kembali memburuk dan makin
parah,” sambungnya. “Jujur saja Vhy, aku iri sama kamu,” ujar kak rafa.
“Haaa? Iri? Sama aku? Kenapa
kak?” tanyaku kaget.
“Kamu bisa membuat adikku
tersenyum dan tertawa begitu lepas, menjadi semangat baginya, dan member warna
hari-harinya,” Kak Rafael kembali meneteskan air mata. Aku mengusap-usap
bahunya, mencoba menenangkannya.
“Kakak tetaplah yang terbaik bagi
Reza. Reza bangga punya kakak seperti kak Rafa. Yah, itu selalu di ucapkannya
kak,” ucapku seraya tersenyum kepada kak rafa dan dia pun membalasnya dengan
senyum.
“Pulang
yuk Vhy!” ajak kak Rafa dan aku mengangguk. Kami meninggalkan Reza di tempat
peristirahatan terakhirnya. Dalam gelap yang tetap akan bersinar terang.
***
Sebulan telah berlalu sejak
kepergian Reza. Kini hari-hariku ku jalani sperti biasanya, meski terasa hampa
tanpa kehadiran Reza. Hari ini akan ada pengumuman kelulusan Ujian Nasional.
Hemmm… sebelum berangkat ke sekolah ku sempatkan memandangi foto Reza yang
terpajang rapi di meja belajarku.
“Za, hari ini pengumuman. Hufftt,
deg-degan nih za. Doain gue yah,” gumamku dan mencium foto Reza.
Aku bergegas berangkat kesekolah
Ku harap hasilnya baik. Aku menira amplop yang berisikan sebuah hasil yang
sangat ku harapkan. Bismillah, dan Alhamdulillah aku lulus dengan nilai yang
memuaskan. Thanks God ! Semua orang berbahagia hari ini, ku rasakan kebahagiaan
itu disekelilingku. Namun, hatiku sedih. Semestinya Reza ada di sini, merasakan
kebahagiaan ini bersamaku, bersama kami semua. Handphoneku tiba-tiba berbunyi.
Prisil, sebuah nama yang muncul.
“Halo..” ucapku mengangkat
telpon.
“Kemakam Reza yuk Vhy!” ajak
Prisil.
“Ayo..!”
“Aku jemput kamu yah!” ucapnya.
“Oke!” kataku singkat dan menutup
pembicaraan kami di telpon.
Ditengah kesibukan para alumni
SMA Kusuma bangsa yang mempersiapkan diri untuk berkonvoi, aku hanya berdiri di
depan gerbang menunggu jemputan dari Prisil. Tak lama kemudian, Prisil pun
datang. Kami segera menuju ke pemakaman. Sesampai di sana, aku kembali mati
rasa. Tak ada yang ku rasakan. Ku lihat Prisil mendekati makam itu dan mengusap
nisannya.
“Reza, aku sama Vhy datang
nengokin kamu. Kami lulus za. Seneng banget rasanya. Namun, kesenangan ini
hampa tanpa kamu sayang,” ujar Prisil. Air mataku mulai menetes, tapi bibirku
begitu keluh. “Sayang, aku kangen sama kamu. Aku pengen ketemu kamu,” air mata
pun menetes. Aku bisa memahami perasaan Prisil. Setahun lebih pacaran bukanlah
waktu yang sebentar. Dan kini mereka terpisah oleh maut. Aku tak mendengar lagi
apa yang diucapkan Prisil. Kini
pikiranku hanya tertuju kepada Reza.
Saat-saat bersamanya yang penuh warna. Bersama Reza kulalui hari-hari
ceriaku, bersama Reza ku lalui hari-hari kelabuku, dan bersama Reza hari-hari
lebih bermakna. Terima kasih Reza. You’re my angel.
“Vhy, udah mau pulang?” Prisil
membuyarkan lamunanku. Namun, sebelum meninggalkan makam Reza, aku mendekatinya
dan mencium nisannya. “Terima kasih untuk semuanya!” bisikku.
“Mau langsung pulang ato ikut
konvoi Vhy?” tanya Prisil.
“Aku mau ke rumah Reza aja,” jawabku.
“Aku mau ke rumah Reza aja,” jawabku.
“Biar aku antar yah,’ tawar
Prisil.
Sesampaiku di rumah Reza, suasananya
begitu sepi. Sangat jauh berbeda ketika Reza masih hidup. Belum aku memasuki
rumah, pasti kejailannya udah menggila. Tapi kini, kejailan itu nggak ada lagi
menyambut kedatanganku. Nggak ada lagi kekesalanku dan nggak ada lagi tawa
riang Reza.
“Eh, ada Vhy?” sapa tante Fanny
saat aku memasuki rumah itu. DI rumah ini aku selalu diterima. Kata tante Fanny
dan menurutku juga, ini udah menjadi rumah kedua bagiku. “Gimana tadi
pengumumannya?” tanya tante fanny.
“Alhamdulillah tante, aku lulus,”
jawabku dengan senyum bahagia.
“Syukurlah Vhy. Tante ikut
senang,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
“iya tante, makasih,” ucapku
tersenyum. “Oh iya tante, aku bolehkan ke kamar Reza?” izinku.
“Ya tentu bolehlah Vhy. Masuk aja
sayang,” ujarnya.
“Makasih tante,” ucapku lagi dan
menuju ke kamar Reza.
Tak banyak yang berubah dari
kamar ini. Hanya saja terlihat lebih bersih dari biasanya. Foto Reza pun masih
terpajang dieberapa meja yang ada di kamar ini. Aku menghampiri foto yang ada
di meja belajar Reza dan duduk di kursi kesayangannya.
Za, mestinya kita lulus bareng.
Mestinya kamu ada di sini. Ngerayain kebahagiaan ini za. Semuanya hampa tanpa
kamu. Reza, kamu pernah bilang ke akau, kalau aku sedih aku harus inget kamu.
Tapi , semakin aku inget kamu, aku semakin kangen za.
Air mataku tak tertahankan lagi.
Perasaanku seakan terluapkan. Hari ini, aku seakan bermimpi kalau kamu
benar-benar udah nggak ada. Begitu sulit untuk dapat percaya. Aku berusaha
tegar, tapi aku tetap Vhy yang lemah. Kenapa kamu ninggalin aku za? Kenapa kamu
pergi secepat itu?
Rasanya percuma aku mengeluh
seperti ini. Semua ini adalah takdir. Aku beranjak dari kursi menuju tempat
tidur Reza. Ku ebahkan tubuhku. Begitu lelah rasanya. Ku peluk foto reza dan
mencoba memjamkan mata. Elum sempat aku terlelap dalam tidur, ada sosok cowok
yang erdiri di dekat jendela kamar Reza dengan senyumnya yang indah.
Yah, itu Reza. Sosok yang amat ku
rindukan. Aku pun terbangun dan duduk tak beranjak dari kasur itu. Reza
menghampiriku dan duduk disampingku. Air mataku kemali erlinang menatap wajah
yang tengah tersenyum itu.
“ ini eneran Reza ?” tanyaku tak
percaya. Dia pun mengangguk. Aku langsug memeluknya, “gue kangen anget ma lo,”
ujarku.
“Gue juga Vhy,” ucapnya.
Ku peluk tubuhnya, begitu hangat
berada didekapannya. Aroma tubuhnya yang begitu wangi membuatku benar-benar
dalam situasi yang menyenangkan. Ya Allah, aku tak ingin kehilangannya lagi. Aku
tak ingin melepasnya dalam pelukanku.
“Jangan nangis lagi yah Vhy!”
pintanya saat melihatku menangis. “Lo kan udah janji.”
“Hmm… iya Za,” ucapku dan melepas
pelukanku. Dia pun mengusap air mataku. “Jangan pergi lagi yah Za!” pintaku.
“Kenapa?” pertanyaan yang aneh
bagiku.
“Gue nggak sanggup kalo harus
jalani semua ini sendiri,” jawabku.
“Lo nggak sendiri kok. Lo punya
banyak orang yang sayang ma elo. Bokap nyokap, kak Rafa, Prisil, Vito, dan
temen-temen elo.”
“Beda za. Rasanya beda tanpa elo.
Semua terasa hampa.”
“Vhy, gue selalu ada kok di dekat
elo. Baik sebagai kenangan ataupun dalam sebuah sosok yang mungkin bakal lo
temuin suatu saat nanti. Ingat Vhy, yang abadi hanyalah kenangan.” Jelasnya.
Akupun mengangguk dan tersenyum, meskipun ada kalimat yang tak dapat ku
mengerti. Sosok yang akan ku temui suatu saat nanti? Yah, aku tak mengerti
kalimat itu.
Reza kembali mengusap air mataku.
“Lo harus kuat Vhy! Walaupun gue nggak ada di samping elo, tapi gue selalu ada
di hati elo,” terangnya lagi.
Aku kembali memeluknya. Berbeda
dengan yang sebelumnya, kini tubuh Reza terasa dingin. “Vhy, gue harus pergi. Gue
bakal selalu liat elo dari atas. Dari tempat terbaik untuk memandan elo Vhy.
Baik-baik yah Vhy. I miss you,” ucapnya. Dia beranjak dari duduknya berjalan
menuju jendela tempatnya tadi berdiri.
“Reeezzzzaaaaa, jangan tinggalin
gue!” teriakku. Namun dia tetap berlalu dengan senyum merekah di wajahnya. “Reeeeeezzzzzzzzzzaaaa…….”
Jeritku dan membuatku kaget sendiri. Aku pun tersadar, bahwa ini hanyalah
mimpi. Reza udah nggak ada. Aku harus mengikhlaskannya.
Ku pandangi foto dalam pelukanku.
Meskipun Reza udah nggak ada, namun dia tetap ada di hatiku. I miss you too
Reza. Senyumanmu akan abadi. Selamanya, bersammaku dikehidupan ini..
Masamba, 04 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar